Liputan6.com, Gorontalo - Angka penderita tengkes atau stunting di Provinsi Gorontalo berdasarkan data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 berada di angka 23,8 persen. Bahkan, jumlah itu masih jauh dari target nasional yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sebesar 14 persen pada tahun 2024 mendatang.
Melihat kondisi tersebut, Penjabat (Pj) Gubernur Gorontalo Ismail Pakaya mengambil langkah agar persoalan stunting di Gorontalo bisa ditekan serendah mungkin.
Advertisement
Baca Juga
Menurut ismail, yang terpenting adalah data penderita gizi kurang di Gorontalo. Ia menilai bahwa survei SSGI yang menempatkan Gorontalo di angka 23,8 persen tidak punya basis data yang memadai.
Jumlah penderita, lengkap dengan nama dan alamatnya tidak dikantongi baik pemerintah kabupaten dan Kota. Sehingga sulit untuk ditindaklanjuti secara langsung.
Di sisi lain, sejak dua bulan terakhir pihaknya meminta dinas kesehatan guna bekerja sama dengan Puskesmas untuk memutakhirkan data Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM). Data ini dinilai lebih akurat karena menyertakan nama dan alamat yang diinput berdasarkan hasil pemeriksaan dan timbang badan di tiap Puskesmas.
"Hasilnya hingga akhir Agustus 2023 didapati ada 4.545 anak penderita tengkes di Gorontalo," kata Ismail.
“Pak Kepala Bappeda, Pak Kadis Kesehatan, Pak Kadis Pangan, Pak Kadis Sosial saya minta duduk bersama bahas data yang 4.545 orang ini. Siapa namanya, di mana alamatnya," tegasnya
Setelah datanya teridentifikasi, barulah setiap SKPD bekerja keroyokan bagaimana caranya mereka keluar dari angka stunting.
"Saya belum ingin rapat dengan kabupaten dan kota, maupun pihak terkait. Kalau persoalan data kita saja tidak jelas. Kita tidak tahu mau pakai data apa,” beber Ismail.
Dirinya meminta, hingga akhir Desember 2023 semua OPD fokus pada data tengkes 4.545 orang versi e-PPBGM. Iya meyakini jika jumlah ini berhasil ditekan, maka secara otomatis survei SSGI tahun 2024 bisa lebih baik dari tahun ini.
Berikutnya kata Ismail, yakni mengintegrasikan semua program kerja OPD di pertengahan tahun ini untuk mengintervensi 4.545 penderita tengkes dan keluarganya. Caranya, ia minta OPD terkait mengintegrasikan nama dan alamat penderita tengkes dengan keluarganya yang masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
DTKS dan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim (P3KE) menjadi penting karena jadi acuan OPD untuk mengintervensi program.
“Selama ini semua OPD pakai DTKS untuk mengucurkan bantuan ya kan? Nah sekarang dibalik polanya. Penderita tengkes yang 4.545 dicari keluarganya apa masuk di DTKS atau tidak? Yang masuk di DTKS silahkan diintervensi bantuan, yang tidak masuk DTKS tapi anaknya stunting itu akan diintervensi oleh PKK," katanya.
“Seluruh program yang belum terealisasi di OPD-OPD saya minta menyasar di jumlah yang tadi, pak Kadis Kesehatan siapkan datanya. Kalau misalnya sudah dalam proses, ganti orangnya. Pak Kadis Pangan saya tugaskan untuk ini ya, karena Bappeda itu terlalu banyak dokumen yang harus diselesaikan,” imbuhnya.
Langkah terakhir yang tidak kalah penting, yakni berbagi peran dengan pemerintah kabupaten dan kota. Jumlah 4.545 orang harus dibagi habis antara pemprov dengan pemkab/pemkot. Setiap Pemda menjadi semacam pengasuh bayi tengkes lengkap dengan laporan jumlahnya dan progres timbang badan setiap bulannya.
Selain asupan gizi yang baik melalui penyediaan multivitamin dan makanan bergizi, kebutuhan keluarga penderita tengkes menjadi tanggung jawab OPD lain. Ismail mencontohkan, kebutuhan sanitasi menjadi tanggung jawab Dinas PUPR-PKP.
“Jangan-jangan keluarga yang ada anak stunting itu tidak ingin jadi pengusaha, nah kalau dia tidak ingin jadi pengusaha kemudian dikasih bantuan UMKM oleh Diskumperindag, ya untuk apa kan tidak berguna? Dia justru butuh jamban tapi tidak diberi oleh Dinas PUPR-PKP ya percuma juga. Jadi tolong bantuannya terintegrasi,” pinta Staf Ahli Menaker RI Bidang Sosial, Politik dan Kebijakan Publik.
Dari rapat tersebut ada sejumlah program kegiatan yang bisa diarahkan untuk menekan angka stunting, selain tentunya program Dinas Kesehatan sebagai OPD teknis utama yang menanganinya.
Dinas Kelautan dan Perikanan, misalnya. Setiap tahun menganggarkan bantuan ikan tuna bagi 119 bayi penderita stunting. Program ini diintegrasikan dengan program TP PKK yang aktif turun mendampingi keluarga hingga ke tingkat desa.
“Saya kira yang menjadi arahan Pak Gubernur tadi sangat baik. Datanya harus satu dan fokus. Ke depan kita akan menyesuaikan dengan data Dinas Kesehatan untuk mengambil peran dalam hal bantuan ikan. Kalau bantuan multivitamin, telur dan lain lain sudah ada, kami fokus di ikan dengan protein yang tinggi,” jelas Sila.
Dinas Pangan mengambil bagian melalui bantuan bahan makanan Bermutu Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA). Program ini menyasar 225 anak tengkes di Gorontalo.
Selanjutnya ada Dinas Sosial melalui program Bantuan Langsung Pangan Pemerintah Provinsi Gorontalo (BLP3G). Bantuan ini lebih spesifik menyasar keluarga miskin sebagai stimulan meringankan beban warga.
Dinas PUPR-PKP lebih fokus pada penyediaan air bersih dan sanitasi. Termasuk program penataan kawasan permukiman kumuh dan penyediaan infrastruktur dasar warga. Dinas Kumperindag berkontribusi melalui pembinaan dan bantuan bagi pelaku UMKM.