Lika-liku Subak Bali, Sistem Irigasi Tradisional yang Jadi Warisan Budaya Dunia

Sistem subak Bali juga memiliki struktur organisasi yang terdiri dari pekaseh, subak abian, dadia, dan krama subak.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 26 Jun 2024, 06:00 WIB
Diterbitkan 26 Jun 2024, 06:00 WIB
Subak di Bali
Teras sawah Jatiluwih di Bali. (Creative Commons)

Liputan6.com, Bali - Masyarakat Bali konsisten dalam menjaga dan mengelola air demi keseimbangan hidup alam dan manusia. Hal itu tercermin dalam sistem irigasi subak.

Mengutip dari kemenparekraf.go.id, sistem irigasi subak sudah diterapkan di Bali sejak abad ke-8. Sistem tersebut kemudian berkembang menjadi budaya yang terus dipertahankan secara turun-temurun hingga kini. Tak heran, jika sistem subak Bali telah tercatat sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO sejak 29 Juni 2012.

Seperti sistem irigasi lainnya, subak bermanfaat dalam mengatur tata air persawahan di Bali. Melalui sistem ini, air dari sumber mata air sungai atau danau mengalir ke seluruh sawah-sawah secara merata, sehingga sistem ini dianggap sebagai sistem irigasi yang adil. Baik petani maupun masyarakat Bali sama-sama memperoleh manfaat dan haknya atas air.

Bagi masyarakat Bali, air menjadi simbol keberlanjutan, kesucian, dan keseimbangan. Sistem subak yang erat kaitannya dengan air juga memiliki filosofi tersendiri, yakni Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana berarti menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta. Filosofi Tri Hita Karana terdiri dari tiga unsur kehidupan, yakni parahyangan (pemujaan terhadap pura di sekitar subak), pawongan (organisasi yang mengatur subak), dan palemahan (menunjukkan kepemilikan tanah atau wilayah setiap subak).

Menariknya, di sekitar subak dibangun pura-pura seperti yang tertuang pada unsur parahyangan. Umumnya, pura yang berada di sekitar subak disebut Pula Ulun Carik atau Pura Bedugul yang khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Dewi Sri, sang dewi kesuburan dan kemakmuran.

Sistem subak Bali juga memiliki struktur organisasi yang terdiri dari pekaseh, subak abian, dadia, dan krama subak. Pekaseh adalah pemimpin subak yang bertanggung jawab atas pengelolaan air dan pelaksanaan ritual keagamaan.

Adapun subak abian adalah organisasi lebih kecil yang mengelola irigasi di tingkat desa. Dadia merupakan sebutan untuk kelompok petani yang tergabung dalam subak berdasarkan garis keturunan. Sementara itu, krama subak adalah seluruh anggota subak yang memiliki hak dan kewajiban dalam pengelolaan air dan persawahan.

Uniknya sistem irigasi subak ternyata memberikan nilai lebih bagi pariwisata bali. Subak menjadi salah satu daya tarik wisata di Bali, seperti yang ada di Desa Wisata Jatiluwih, Penebel, Tabanan.

Desa Wisata Jatiluwih berada di ketinggian 700 mdpl, tepatnya di kaki Gunung Batukaru. Desa wisata ini memiliki area persawahan berundak dengan sistem subak lebih dari 50.000 hektare. Jumlah tersebut sekaligus menjadikan sistem subak di desa ini menjadi yang paling luas di Bali.

Wisatawan bisa melihat sistem subak dengan hamparan persawahan hijau yang asri. Wisatawan secara langsung juga bisa mengikuti kegiatan para petani, seperti membersihkan sawah (nampadin), membajak sawah (ngelampit), meratakan tanah sawah (mlasah), menanam padi (nandur), memanen (sasih sada), hingga menyaksikan Festival Jatiluwih yang rutin digelar setiap tahun.

 

Penulis: Resla

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya