PP Kesehatan Bebani Sektor Ultramikro, Akrindo: Pelaku Usaha Sulit Bertahan

Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo) mengungkapkan kekhawatiran atas terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 (PP 28/2024).

oleh Tim Regional diperbarui 05 Agu 2024, 17:03 WIB
Diterbitkan 05 Agu 2024, 17:03 WIB
Ilustrasi Industri Rokok
Ilustrasi Industri Rokok

Liputan6.com, Sidoarjo Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo) mengungkapkan kekhawatiran atas terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 (PP 28/2024).

Kekhawatiran Akrindo khususnya terkait pasal pelarangan penjualan rokok eceran. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua Umum Akrindo, Anang Zunaedi.

Dalam keterangan diperoleh Liputan6.com, Senin (5/8/2024), Anag menegaskan, peraturan tersebut sangat tidak adil dan tidak berpihak pada pedagang kecil.

Karena menurutnya, tidak hanya menekan omzet pedagang ultramikro hingga koperasi ritel, PP 28/2024 juga menghilangkan kesempatan bagi pelaku usaha kecil untuk dapat bertahan di tengah kondisi ekonomi yang semakin berat.

"Pengaturan ini amat sangat merugikan. Bagaimana pedagang kecil, dan ultramikro bisa bertahan dengan aturan seperti ini?" ucapnya.

"UMKM, khususnya ultramikro, selama ini telah membantu negara yang belum mampu menyediakan lapangan kerja formal dengan menggerakkan ekonomi kerakyatan. Tapi PP 28/2024 justru menekan dan membebani sumber mata pencaharian anggota kami," sambungnya.

 

Mustahil Diimplemtasikan

Ilustrasi rokok ilegal di Banyuwangi (Istimewa)
Ilustrasi rokok ilegal (Istimewa)

Anang juga mempertanyakan adanya pelarangan penjualan produk tembakau dengan penerapan zonasi 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

Menurutnya, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 434 ayat 1 (e) PP 28/2024 tersebut mustahil diimplementasikan di lapangan.

"Seperti apa cara ukurnya? Apa alat ukurnya? Mengapa zonasi ini sasarannya pedagang bukannya pelajar? Bagaimana jika pedagang atau tempat usahanya lebih dulu ada dibandingkan tempat pendidikannya? Lagi-lagi, hal-hal seperti ini yang tidak dipikirkan secara matang," kecamnya memprotes.

Akrindo berharap pemerintah bijaksana memperhatikan dampak pasal-pasal Pengamanan Zat Adiktif dalam PP 28/2024 yang justru membelenggu pedagang dengan regulasi yang tidak adil dan berimbang.

"Peraturan ini jelas dapat mematikan mata pencaharian pedagang kecil, ultramikro, dan pedagang tradisional yang selama ini menjadikan produk tembakau sebagai salah satu tumpuan perputaran ekonomi kami," Anang menegaskan.

"Rokok adalah produk legal, tapi pengaturannya sangat tidak adil dan diskriminatif. Kami pedagang seolah-olah diposisikan menjual barang terlarang," lanjutnya.

Berkontribus Signifikan

Ilustrasi rokok Ilegal (Istimewa)
Ilustrasi rokok (Istimewa)

Anang memaparkan, selama ini bagi 84 persen pedagang kecil, penjualan produk tembakau berkontribusi signifikan hingga lebih dari 50 persen dari total penjualan seluruh barang.

Namun begitu, penjualan rokok secara eceran merupakan salah satu komoditas yang perputarannya cepat untuk pemasukan toko. Hal inilah yang pada akhirnya turut mendorong sirkulasi penjualan barang lainnya seperti makanan dan minuman.

"Kami memohon perhatian dan perlindungan pemerintah. Kami berharap pembuat kebijakan dapat lebih peka terhadap realitas yang terjadi di lapangan. Saat ini para pedagang kecil, ultramikro, hingga pedagang kelontong tradisional berupaya sekuat tenaga untuk bisa terus bertahan dan berdaya saing," Anang menandaskan.

Untuk diketahui, Akrindo lahir sebagai wadah gerakan koperasi di bidang usaha ritel yang didirikan pada 2010. Saat ini, Akrindo menaungi sekitar 900 koperasi ritel dan 1.050 toko tradisional di Jawa Timur.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya