Liputan6.com, Jakarta - Langkah lembaga pemeringkat internasional Standard and Poor's menaikkan peringkat surat utang atau obligasi pemerintah Indonesia menjadi layak investasi di posisi BBB- akan mendorong arus dana investor asing masuk ke Indonesia terutama ke portofolio investasi surat utang atau obligasi.
Senior Investment Management Fixed Income Asia Aberdeen Asset Management Suhardi Tanujaya menilai, Indonesia memang pantas masuk jajaran negara di Asia yang layak investasi meski terlambat diberikan peringkat itu.
S&P menetapkan rating BBB- untuk obligasi pemerintah Indonesia pada 19 Mei 2017. Sebelumnya lembaga pemeringkat internasional lainnya Fitch Ratings telah memberikan peringkat layak investasi untuk Indonesia sejak November 2011. Sedangkan Moody's Investors Service pada Januari 2012.
Advertisement
Dengan peringkat layak investasi dari lembaga pemeringkat tersebut, Suhardi menilai hal itu membuka pintu bagi investor untuk membeli obligasi di negara yang layak investasi. Diperkirakan arus dana investor asing mencapai US$ 5 miliar.
Baca Juga
"Peringkat investasi dari S&P ini membuka jalan bagi investor untuk investasi di obligasi pemerintah Indonesia, lantaran juga dapat masuk indeks JP Morgan GBI-EM yang diikuti secara luas. Selain itu, menghilangkan hambatan yang mencegah banyak investor Jepang untuk membeli aset investasi itu (obligasi)," kata Suhardi, dalam ulasannya, Rabu (7/6/2017).
Ekonom PT Bahana Sekuritas Fakhrul Fulvian menilai kenaikan peringkat Indonesia akan mendorong yield obligasi bertenor 10 tahun bakal turun ke 6,5 persen dari yang saat ini masih tercatat sekitar 6,9 persen.
Tentunya para investor tak ingin ketinggalan momentum ini, sebelum yield turun lebih lanjut, mereka sudah masuk ke pasar terlebih dahulu. Apalagi ke depan, inflasi akan diupayakan turun terus sehingga akan mempengaruhi imbal hasil yang bisa dinikmati para investor.
Akhir Mei 2017, inflasi tercatat 4,33 persen secara tahunan sedikit naik dibandingkan April karena ada faktor musiman menjelang puasa dan Lebaran. Namun angka itu dalam target Bank Indonesia untuk 2017 sekitar 3-5 persen.
"Secara struktural sudah banyak perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah bahkan juga untuk jangka panjang," ujar Fakhrul.
Ini terlihat dari tren inflasi jangka panjang yang turun disokong oleh berhentinya faktor kejut dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan perbaikan kondisi logistik di Indonesia.
"PR pemerintah saat ini adalah membuat pendalaman pasar keuangan sehingga perbaikan yang terlihat di sektor riil bisa dimanfaatkan secara optimal," kata dia.
Pada tahun lalu, obligasi pemerintah Indonesia dan korporasi memberikan imbal hasil terbaik di antara 11 negara di Asia. Diperkirakan imbal hasilnya mencapai 17 persen.
Suhardi memperkirakan, imbal hasil pada tahun lalu tidak terulang pada 2017. Ia prediksi, imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun dalam denominasi dolar Amerika Serikat sekitar 4,5 persen.
Sebelum pengumuman S&P, pihaknya mengurangi risiko untuk obligasi rupiah. Ini mengantisipasi normalisasi suku bunga acuan bank sentral AS yang lebih cepat dan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga.
"Usai pengumuman S&P kami agak bullish terhadap obligasi pemerintah dalam denominasi rupiah dan obligasi korporasi," ujar dia.
Suhardi melihat masih ada ruang pengetatan karena investor mengurangi risiko. Namun, suku bunga acuan akan mendukung obligasi yang cukup tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya.
Fakhrul menuturkan, hingga dua tahun ke depan, investor asing dan lokal ingin mengoleksi obligasi atau surat utang jangka panjang adalah saat tepat untuk membelinya. Ini lantaran pemerintahan Joko Widodo sangat konsen menjaga stabilitas harga-harga membangun infrastruktur dan mengurangi beban subsidi secara garis besar. Reformasi struktural akan terus dilanjutkan yang berarti pasar Indonesia akan semakin efisien sehingga tingkat suku bunga akan segera berakhir.
"Pada akhir tahun ini, investor perlu berhati-hati karena ada kemungkinan inflasi akan naik akibat kenaikan harga BBM, meski kenaikan inflasi tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya saat harga BBM naik, kenaikan inflasi saat ini lebih terukur," kata dia.
Indonesia sempat masuk dalam negara "fragile five" bersama Brazil, Afrika Selatan, India, dan Turki. Negara masuk fragile five itu dianggap paling rentan terhadap perubahan sentimen.
Akan tetapi, Suhardi menilai, kebijakan ekonomi Indonesia yang realistis, komitmen reformasi dan harga komoditas yang tinggi membantu ekonomi Indonesia. Bahkan ekonomi Indonesia membaik di tengah kondisi global yang tidak pasti.
"Perbaikan dan pengelolaan neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal, serta kemajuan pembangunan infrastruktur membuat negara ini (Indonesia) lebih menarik bagi investor," ujar Suhardi.
Selain itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga dinilai berperan membuat ekonomi Indonesia terutama anggaran pemerintah menjadi lebih baik. Apalagi dengan ada program pengampunan pajak atau tax amnesty.
"Indonesia juga kurang kena dampak dari kebijakan perdagangan Amerika Serikat karena ekonominya mengandalkan konsumsi domestik, sedangkan pasar ekonomi Amerika Serikat juga tidak terlalu berpengaruh," tutur dia.
Oleh karena itu, Aberdeen masih tetap menyukai pasar Indonesia. Hal itu mengingat neraca transaksi berjalan terukur dan defisit fiskal yang terjaga sehingga menjaga pasar obligasi dan nilai tukar rupiah.
Â
Â