Liputan6.com, Jakarta - Sempat merosot tajam, harga saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) akhirnya menguat menjelang akhir pekan ini.
Berdasarkan data RTI, Jumat (26/4/2019), saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menguat 1,73 persen ke posisi Rp 470 per saham.
Harga saham PT Garuda Indonesia Tbk sempat berada di level tertinggi Rp 474 per saham dan terendah Rp 446 per saham. Total frekuensi perdagangan saham 3.117 kali dengan nilai transaksi Rp 40,2 miliar.
Advertisement
Pada perdagangan saham Kamis 25 April 2019, saham PT Garuda Indonesia Tbk sempat melemah 7,6 persen ke posisi Rp 462 per saham. Saham PT Garuda Indonesia Tbk sempat berada di level tertinggi 500 dan terendah 462 per saham. Total frekuensi perdagangan saham 5.479 kali dengan nilai transaksi Rp 25,7 miliar.
Baca Juga
Kalau melihat pergerakan saham PT Garuda Indonesia Tbk sepanjang tahun berjalan, saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menguat 55,03 persen ke posisi Rp 462 per saham. Total volume perdagangan saham 5,38 miliar saham dengan nilai transaksi Rp 2,6 triliun. Total frekuensi perdagangan saham 280.348 kali.
Analis PT Binaartha Sekuritas, Nafan Aji menuturkan, harga saham PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menguat didorong aksi beli oleh pelaku pasar untuk memanfaatkan koreksi yang terjadi pada perdagangan saham kemarin. Laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk untuk tahun buku 2018 yang dinilai ganjal, menurut Nafan bukan satu-satunya sentimen yang menekan harga saham PT Garuda Indonesia Tbk pada perdagangan kemarin.
Akan tetapi, kekhawatiran investor terhadap ekonomi global dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melemah juga menekan saham PT Garuda Indonesia Tbk.
"Laporan keuangan tidak serta merta buat harga saham turun terus. Pergerakan saham Garuda Indonesia masuk fase konsolidasi dengan kisaran 420-520 per saham," ujar Nafan saat dihubungi Liputan6.com.
Terkait laporan keuangan Garuda Indonesia, Nafan mengharapkan ke depan, laporan keuangan tersebut dapat disusun dengan kredibel. "Ke depan harus lebih kredibel," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
BEI Bakal Panggil 30 April
Sebelumnya, Otoritas PT Bursa Efek Indonesia (BEI) mengaku sudah meminta penjelasan kepada manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) terkait perbedaan pendapatan antara pihak komisaris dan manajemen terhadap pembukuan laporan keuangan 2018.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menjelaskan, pihak bursa kini tengah berkoordinasi dengan perusahaan perihal masalah perbedaan pendapatan tersebut.
Dirinya pun menambahkan, BEI akan melakukan rapat dengar pendapat dengan pihak Garuda pada 30 April 2019 ini, yaitu pada pekan depan.
"Untuk memperjelaskan nature transaksi atas pendapatan tersebut, bursa akan mengadakan hearing pada Selasa, 30 April ini," tuturnya di Jakarta, Jumat, 26 April 2019.
Menambahkan, Direktur Utama BEI Inarno Djajadi membenarkan bahwa otoritas bursa siap memanggil direksi Garuda pada pekan depan.
"Iya benar, minggu depan kita akan undang minta klarifikasinya atas perbedaan perlakuan akuntasinya," jelasnya.
Sementara itu, sejauh ini pihak BEI tengah mempelajari lebih lanjut terkait laporan keuangan perusahaan pelat merah tersebut.
"Terkait berita mengenai Laporan Tahunan Garuda tahun 2018, Bursa kini telah dan sedang mempelajari khususnya terkait dengan perjanjian dan pengakuan pendapatan," terang Nyoman.
Advertisement
Dua Komisaris Menolak Pencatatan Laporan Keuangan Garuda Indonesia
Laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) pada 2018 sedang menjadi sorotan. Apalagi dua komisaris PT Garuda Indonesia Tbk tidak setuju dengan pencatatan laporan keuangan Garuda Indonesia pada 2018.
Pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) 24 April 2019, dua komisaris yaitu Chairal Tanjung dan Dony Oskaria menyampaikan keberatan soal pencatatan laporan keuangan Garuda Indonesia pada 2018.
Seperti diketahui, pemegang saham PT Garuda Indonesia Tbk antara lain PT Trans Airways sebesar 25,61 persen, pemerintah Indonesia sebesar 60,53 persen dan masyarakat dengan kepemilikan di bawah lima persen sebesar 13,84 persen.
Dalam dokumen yang diterima media disebutkan kalau dua komisaris tersebut meminta masukan dan tanggapan kepada Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) mengenai perlakuan akuntansi transaksi kerja sama Citilink dan Mahata. Hal ini terkait perjanjian kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia pada 31 Oktober 2018.
Dari kerja sama itu, perseroan akan mendapatkan pendapatan dari Mahata Aero Teknologi sebesar USD 239.940.000. Di antaranya sebesar USD 28.000.000 merupakan bagian hasil perseroan yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Namun, hal itu dinilai tidak dapat diakui dalam tahun buku 2018.
Dalam dokumen itu disebutkan pertimbangan hal itu tidak diakui dalam tahun buku 2018 dengan melihat pernyataan standar akuntansi keuangan nomor 23 (PSAK 23). Yaitu tidak dapat diakuinya pendapatan tersebut karena hal ini bertentengan dengan PSAK 23 paragraf 28 dan 29 yang berbunyi sebagai berikut:
Paragraf 28, pendapatan yang timbul dari penggunaan aset entitas oleh pihak lai yang menghasilkan bunga, royalty dan dividen diakui dengan dasar yang dijelaskan di paragraph 28 jika (a) kemungkinan besar manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan mengalir ke entitas. (b) jumlah pendapatan dapat diukur secara andal.
Paragraf 29, royalti diakui dengan dasar akrual sesuai dengan subtansi perjanjian yang relevan.
Dalam lampiran PSAK 23 paragraf 20 lebih dijelaskan lagi dalam ilustrasi makna dari PSAK 23 paragraf 28 tersebut yaitu bahwa imbalan lisensi atau royalti akan diterima atau tidak diterima bergantung pada kejadian suatu peristiwa masa depan. Dalam hal ini pendapatan hanya diakui jika terdapat kemungkinan besar bahwa imbalan atau royalti akan diterima. Keandalan dapat diterimanya pendapatan harus diukur dengan pendapatan tetap atau jaminan yang tidak dikembalikan dalam suatu kontrak yang tidak dapat dibatalkan.
Perjanjian Mahata ditandatangani 31 Oktober 2018, tapi hingga tahun buku 2018 berakhir, bahkan hingga surat ini dibuat, tidak ada satu pembayaran pun yang telah dilakukan oleh pihak Mahata meski pun telah terpasang satu unit alat di Citilink.
Dalam perjanjian Mahata tidak tercantum term of payment yang jelas bahkan pada saat ini masih dinegosiasikan cara pembayarannya. Sampai saat ini tidak ada jaminan pembayaran yang tidak dapat ditarik kembali seperti bank garansi atau instrumen keuangan yang setara dari pihak Mahata kepada perseroan. Padahal bank garansi atau instrumen keuangan yang setara merupakan instrumen yang menunjukkan kapasitas Mahata sebagai perusahaan yang bankable.
Komisaris menilai kalau pengakuan pendapatan dari perjanjian Mahata oleh perseroan sebesar USD 239.940.000 merupakan jumlah signifikan. Apabila tanpa pengakuan pendapatan ini perseroan akan alami kerugian sebesar USD 244.958.308.
“Adapun dengan mengakui pendapatan dari perjanjian Mahata maka perseroan membukukan laba sebesar USD 5.018.308,” tulis dua komisaris yang menolak keberatan tersebut.
Dampak dari dari pengakuan pendapatan tersebut, laporan keuangan perseroan tahun buku 2018 menimbulkan “misleading” atau menyesatkan yang material dampaknya dari sebelumnya membukukan kerugian yang signifikan menjadi laba, terlebih perseroan adalah perusahaan publik atau terbuka.
Adanya potensi yang sangat besar untuk penyajian kembali laporan keuangan perseroan tahun buku 2018 yang dapat merusak kredibilitas perseroan.
Selain itu,pengakuan pendapatan ini menimbulkan kewajiban perpajakan perseroan baik PPh maupun PPN yang seharusnya belum waktunya. Hal ini dapat menimbulkan cashflow bagi perseroan.
Laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk per 31 Desember 2018 diaudit oleh kantor akuntan publik Tanubrata Sutanto Fahmi Bambang dan Rekan. Dalam laporan tersebut disebutkan kalau laporan keuangan konsolidasi menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material posisi keuangan konsolidasi PT Garuda Indonesia Tbk dan entitas anak 31 Desember 2018.