Pemegang Obligasi Evergrande Hadapi Tenggat Waktu Kupon Obligasi

Pemegang obligasi luar negeri juga menuntut informasi lebih terkait rencana Evergrande yang mendivestasikan beberapa bisnisnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Okt 2021, 16:16 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2021, 16:16 WIB
Rudal Korea Utara Bikin Bursa Saham Asia Ambruk
Seorang pria berdiri didepan indikator saham elektronik sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo (29/8). Ketegangan politik yang terjadi karena Korut meluncurkan rudalnya mempengaruhi pasar saham Asia. (AP Photo/Shizuo Kambayashi)

Liputan6.com, Jakarta -- Pemegang obligasi asing China Evergrande Group pada Senin, 11 Oktober 2021 bersiap hadapi pembayaran kupon obligasi lebih dari USD 148 juta atau Rp 2,1 triliun (estimasi kurs Rp 14.205 per dolar AS). Sebelumnya perusahaan lewatkan tenggat waktu pembayaran dua kupon bulan lalu.

Di samping itu, perusahaan masih punya kewajiban lakukan pembayaran setengah tahunan pada April 2022, April 2023 dan April 2024. Harapannya tipis perusahaan lakukan pembayaran yang jatuh tempo Senin, 11 Oktober 2021.

Hal itu karena perusahaan memprioritaskan kreditor dalam negeri (onshore) dan diam atas kewajiban utang dolar ASnya.

Hal itu tentu membuat investor asing khawatir mengingat kedatangan risiko kerugian besar setalah akhir masa tenggang 30 hari. Pengembang juga bergulat dengan kewajiban utang lainnya lebih dari USD 300 miliar atau sekitar Rp 4.261, 5 triliun.

Masalah Evergrande mengirimkan gelombang keras di pasar global. Perusahaan telah lewatkan pembayaran obligasi dolar senilai USD 131 juta atau sekitar Rp 1,8 triliun yang jatuh tempo pada 23 dan 29 September.

Pada Jumat, 8 Oktober 2021, penasihat pemegang obligasi luar negeri menginginkan lebih banyak informasi dan transparansi kekurangan uang dari pengembang properti China.

Selain itu, para pemegang obligasi luar negeri juga menuntut informasi lebih terkait rencana Evergrande yang mendivestasikan beberapa bisnisnya.

Ini dengan bagaimana hasil tersebut akan digunakan perdagangan saham Evergrande serta unit Evergrande Property Services Group telah disetop sejak 4 Oktober seraya menunggu pengumuman kesepakatan besar.

Pada Senin, 11 Oktober 2021, unit kendaraan listrik perusahaan berayun antara kerugian besar dan keuntungan. Saham jatuh sebanyak 4,65 persen dan naik hingga 9,28 persen.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Diperparah Kegagalan Fantasia Holdings

Pasar Saham di Asia Turun Imbas Wabah Virus Corona
Seorang wanita berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Kekhawatiran penularan Evergrande akan pengaruhi sektor properti China lebih luas dalam penjualan besar-besaran utang dolar China pekan lalu.

Terutama setelah Fantasia Holdings Group Co pun melewatkan tenggat waktu pembayaran utang pasar internasiona senilai USD 206 juta atau sekitar Rp 2,9 triliun pada Senin, 4 Oktober 2021. ICE BofA Asian Dollar High Yield Corporate China Issuers Index terakhir tercatat pada 2.069 poin pada Jumat malam, 8 Oktober 2021 waktu Amerika Serikat (AS).

Fantasia Holdings mengatakan pada Senin, 11 Oktober 2021, akan menyesuaikan mekanisme perdagangan obligasi yang diperdagangkan di Shanghai menyusul penurunan peringkat kredit oleh China Chengxin International Credit Rating Co (CCXI). Mereka menambahkan induknya telah membentuk kelompok darurat untuk menyelesaikan masalah likuiditas.

Langkah ini dilakukan setelah pada Jumat, 8 Oktober 2021, Shanghai Stock Exchange menghentikan perdagangan dua obligasi yang diperdagangkan di bursa oleh Fantasia Group yang disusul penurunan tajam. Serupa dengan menggemakan penyesuaian dalam perdagangan obligasi dalam negeri Evergrande bulan lalu.

"Kami percaya pembuat kebijakan tidak memiliki toleransi atas risiko sistemik yang muncul dan memprioritaskan pertahankan pasar properti yang stabil. Dukungan kebijakan bisa dapat jika penurunan tingkat aktivitas properti memburuk,” ujar Head of Asia Credit Strategy di Goldman Sachs Kenneth Ho, dikutip dari laman Yahoo Finance, Senin (11/10/2021).

Meskipun demikianm, Ho percaya pembuat kebijakan tidak ingin terlalu terstimulasi dan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mengurangi sektor properti.

"Menemukan keseimbangan yang tepat mungkin memerlukan lebih banyak waktu, dan ketidakpastian kemungkinan akan menjadi sumber volatilitas yang berkelanjutan. untuk pasar properti (hasil tinggi)China,” imbuhnya.

 

Reporter: Ayesha Puri

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya