Liputan6.com, Hong Kong - Trip.com China, salah satu agen perjalanan online terbesar di dunia, memperkenalkan subsidi pengasuhan anak senilai 1 miliar yuan atau setara USD 138 juta (Rp 2,06 triliun, asumsi kurs 14.996 per dolar AS) untuk mendorong 32.000 karyawan memiliki anak.
Dikutip dari CNN, ditulis Minggu (2/7/2023), pekerja yang telah bekerja di perusahaan sekitar tiga tahun akan menerima bonus tahunan sebesar 10.000 yuan atau USD 1.376 (Rp 20,63 juta) untuk setiap anak yang baru lahir setiap tahun sejak ulang tahun pertama anak tersebut hingga mereka mencapai usia lima tahun. Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 1 Juli 2023.
Baca Juga
“Melalui pengenalan tunjangan penitipan anak baru ini, kami bertujuan memberikan dukungan keuangan yang akan mendorong karyawan kami untuk memulai atau menumbuhkan keluarga mereka tanpa mengorbankan tujuan dan pencapaian professional mereka,” ujar Executive Chairman Trip.com, James Liang.
Advertisement
Pengumuman Trip.com mengikuti inisiatif serupa oleh perusahaan China yang lebih kecil dan muncul saat negara itu hadapi krisis demografis.
Populasi China menyusut pada 2022 untuk pertama kalinya dalam lebih dari 60 tahun dengan hanya 6,77 kelahiran per 1.000 orang, tingkat kelahiran terendah sejak berdirinya Komunis China pada 1949. Negara ini sekarang menjadi negara terpadat kedua di dunia, setelah India, menurut PBB.
Beijing mencabut kebijakan satu anak selama puluhan tahun pada 2015, yang awalnya mengizinkan pasangan menikah dengan memiliki dua anak. Namun, setelah kenaikan singkat pada 2016, angka kelahiran nasional terus turun.
Jadi Perhatian Pemerintah
Masalah ini menjadi perhatian utama para pembuat kebijakan, karena dapat memiliki implikasi mendalam bagi negara. Ini menambah masalah populasi yang menua, dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan sudah mengurangi pendapatan pajak dan iuran ke dalam sistem pensiun.
Di Trip.com, semua karyawan penuh waktu yang telah bekerja untuk perusahaan selama tiga tahun akan memenuhi syarat untuk mendapatkan bonus, terlepas dari jenis kelamin, posisi dan lokasi pekerjaan mereka, demikian pernyataan perusahaan tersebut.
“Saya selalu menyarankan agar pemerintah memberikan uang kepada keluarga dengan anak-anak untuk kurangi biaya membesarkan anak dan membantu lebih banyak anak muda memenuhi keinginan mereka memiliki banyak anak,” ujar Liang.
“Perusahaan juga dapat berperan dalam kemampuan mereka sendiri untuk membangun lingkungan reproduksi yang menguntungkan,” ia menambahkan.
Ada contoh lain. Beijing Dabeinong Technology, sebuah perusahaan pertanian mengatakan tahun lalu akan memberikan bonus tunai 90.000 yuan atau USD 12.391 kepada karyawan jika mereka memiliki anak ketiga, menurut media pemerintah termasuk China Securities Journal.
Melahirkan anak pertama dan kedua akan hasilkan pembayaran masing-masing 30.000 yuan atau USD 4.130 dan 60.000 yuan atau USD 8.260, demikian disebutkan dalam laporan itu.
Advertisement
Langkah Perusahaan Lainnya
Bulan lalu, manajemen QiaoYin City, sebuah perusahaan layanan sanitasi perkotaan mengumumkan akan menawarkan bonus 100.000 yuan atau USD 13.759 kepada karyawan yang melahirkan anak ketiga.
Langkah itu bertujuan mengurangi beban keuangan keluarga karyawan muda dan menanggapi seruan pemerintah untuk mendorong kelahiran, kata perusahaan tersebut.
Tingkat kelahiran yang menurun bukan satu-satunya kekahawatiran bagi Beijing. Lebih sedikit orang di China yang menikah juga menambah masalah.
Sekitar 6,83 juta pasangan menikah pada 2022, menurut data yang dirilis Kementerian Urusan Sipil China awal bulan ini. Angka trsebut turun sekitar 10,5 persen dari 7,63 juta pernikahan yang terdaftar pada 2021 dan merupakan angka terendah sejak kementerian mulai menerbitkan data pada 1986.
Pembuat kebijakan selanjutnya melonggarkan batasan kelahiran pada 2021, mengizinkan tiga anak dan meningkatkan upaya mendorong keluarga lebih besar, termasuk melalui rencana yang dirilis tahun lalu untuk memperkuat cuti hamil, menawarkan potongan pajak dan tunjangan lain kepada keluarga.
Namun, upaya itu belum membuahkan hasil di tengah perubahan norma gender, tingginya biaya hidup dan pendidikan serta ketidakpastian ekonomi.