Liputan6.com, Jakarta Aku pulang berkawan gamang. Pernyataan Rana di ruangan itu terngiang di pikiran. "Ayolah, Mas. Bisa kali nyari pemeran Adya. Kan baru reading sekali," katanya.
Setibanya di rumah, aku membaca naskah seperti biasa. Kuusir ujaran Rana dari sudut pikiran. Setelah mendalami naskah dan membayangkan Adya, aku tidur. Saat itulah, aku tak bisa memejam mata. Aku baru terlelap setelah jam 3 pagi.
Bangun kesiangan, tanpa mandi, aku meluncur ke kantor Projector Pictures. Untung tak terlambat. Reading berjalan mulus. Yang membuatku penasaran, Devanka saat itu lebih sering melamun. Celotehan Iwan dan Mas Baya pun tak serenyah kemarin. Masing-masing tampak punya beban berat. Aku berusaha berbaik sangka.
Advertisement
Baca Juga
Usai reading, Mas Baya mengirim pesan WhatsApp bahwa besok reading hanya untuk pemeran utama. "Besok kamu off dulu, ya. Reading hanya untuk Deva dan Diandra," tulis Mas Baya. "Oke, Mas," kujawab ringkas.
Keesokan harinya, giliran Iwan memberi tahu bahwa reading dijeda hingga seminggu ke depan. Sampai di sini aku makin gelisah.
Senyum Yang Dipaksakan
Sepuluh hari berlalu sejak aku reading terakhir, Mas Chandra mengirim pesan. Dia mengajakku bertemu di kedai kopi, di salah satu mal kelas atas di Jakarta Selatan, jam 1 siang. Hari itu juga kami bertemu. Melihat kedatanganku, Mas Chandra tersenyum.
Meski aku tahu senyumnya dipaksakan. Ia memelukku, menanyakan kabar, dan menyodorkan Caramel Machiato favoritku. Untuk beberapa detik ia menunduk, terdiam, seolah sedang mencari kata yang tepat untuk memulai pembicaraan. Tak sabar, akhirnya aku memecah keheningan.
Advertisement
Mengapa Aku Diganti?
"Ada kabar buruk soal Adya yang ingin Mas Chandra sampaikan?" tanyaku.
"Oh! Iya Mala, jadi begini. Emh..."
"Sudah dapat pemeran Adya yang baru?"
"Darling, dari mana kamu tahu?"
"Aku cuma tanya. Mas balik bertanya dari mana aku tahu. Berarti benar aku diganti."
"Darling, kamu mancing aku?"
"Enggak perlu mengganti topik, Mas. Fokus saja soal Adya. Boleh aku tahu kenapa aku diganti? Ini hakku untuk tahu mengingat salinan kontrak kerja sudah kupegang."
Mas Chandra terdiam.
Instagram Stories Diandra
Sebenarnya kalau dipikir-pikir ini bukan salah Mas Chandra. Ruang audisi membuktikan aku layak menjadi Adya. Pak Pum sudah memberi isyarat. Mas Baya juga. Semua oke.
Yang mengacak-acak ini semua, istri sang megabintang Devanka. Hari ketiga reading aku diminta tidak datang. Alasannya khusus untuk pemeran utama. Nahas, Diandra mengunggah Instagram Stories suasana reading.
Untungnya, aku enggak buta. Terlihat jelas di video Instagram Stories Diandra ada Devanka, dan sejumlah pemain pendukung seperti Laras Andira, Permana Febrian, hingga aktor senior Om Ranu Pranoto.
Beberapa menit kemudian Diandra menghapus Instagram Stories-nya. Paling disuruh seseorang.
Advertisement
Kompensasi Batal Syuting
"Darling, aku enggak tahu gimana kejadiannya. Ujug-ujug Julia Peterson dipanggil ke ruang audisi. Enggak jelas memerankan siapa. Kemarin aku diminta menemuimu, menanyaimu secara kekeluargaan terkait kompensasi plus kontrak kerja baru untuk membintangi film lain Projector Pictures," Mas Chandra menjelaskan dengan mata memerah. Lalu, berkaca-kaca.
"Film lain, maksudnya?"
"Film horor Malam-Malam Panjang, masih working tittle, sih. Plus satu film lagi yang juga dirilis tahun depan," jawabnya.
"Bilang sama Pak Pum, tidak usah. Aku tidak menuntut. Tidak juga tertarik untuk membintangi dua film lain tanpa audisi. Kalau memang aku mau diajak main film lain, silakan tapi lewat audisi. Jangan karena enggak enak hati. Sampaikan selamatku kepada Julia, lancar syutingnya ya," kataku lalu menyeruput lagi es kopi dalam gelas besar.
"Pak Pum kaget saat muncul wacana kamu diganti. Pak Pum syok dan malu. Itu sebabnya ia menawarkan kompensasi honor tetap dibayar full dan dua judul film baru sebagai permintaan maaf."
Aku Anggap Ladang Amal
"Terima kasih, Mas Chandra. Aku anggap ini ladang amal. Aku tahu Pak Pum juga enggak salah. Aku tahu, kok siapa tersangkanya. Dan maaf, aku enggak terbiasa menerima gaji tanpa bekerja. Sampaikan ucapan terima kasihku pada Pak Pum," jawabku sambil memegang tangan Mas Chandra yang mulai tak tenang.
Saat itu air mata Mas Chandra menetes. Ia kemudian mendongak, menarik napas dalam-dalam. "Dari masa asalnya wacana Julia jadi Adya Manahprasojo, coba? Ayah Adya dari Magelang, ibunya Yogyakarta. Masa anaknya bule Italia?" ia bertanya.
"Mungkin ibunya Adya selingkuh, Mas. Film kan enggak harus patuh sama sumber aslinya," sahutku kemudian pamit. Aku beralasan mau bertemu Zoel di Kemang. Dengan raut wajah tak enak, Mas Chandra mengiyakan. Sebelum beranjak ia memanggilku.
"Mala, aku boleh meluk kamu? Bukan sebagai casting director tapi sebagai sahabat," pinta Mas Chandra.
Advertisement
Titik Balik Jadi Titik Nadir
Aku mengangguk. Kami berpelukan. Ia mengusap punggungku. Makin lama, pelukannya makin erat. Aku membalas pelukannya dalam diam.
"Sudah 16 tahun aku jadi casting director dan ini hari paling buruk dalam karierku. Bimala kamu anak berbakat dan beretika. Tanpa Projector Pictures dan megaproyek sialan ini kamu akan jadi besar. Camkan baik-baik omonganku ini," Mas Chandra menyambung.
Aku mengangguk, lalu melepas pelukannya. Di lift menuju parkiran mobil yang sepi aku mencoba tenang. Saat masuk mobil, aku kehilangan kendali. Aku menangis sejadi-jadinya. Kupikir Semalam Di Pelukku akan jadi titik balik karier, ternyata titik nadir.
Kayak Jelangkung
Sepanjang jalan aku menyetir sambil menangis. Di antara air mata yang enggan tiris, aku bertanya-tanya mengapa Pak Pum membiarkanku didepak. Kalau mendengar cerita beberapa teman artis yang pernah kerja bareng Projector Pictures, Pak Pum tipe yang turun langsung. Ia tahu siapa berbuat apa. Siapa menggantikan siapa.
Tapi bodo amat. Faktanya, aku disingkirkan. Titik. Tiba di rumah, air mata yang tadi meruah telah mengering. Di teras, ada Zoel. Heran, orang ini lama-lama kayak jelangkung.
Advertisement
Ke Jogja, Yuk!
"Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Lo ngapain, sih, datang lagi ke mari?" aku mengomel sambil membuka pintu.
"Untung gue cuma memercayakan kunci gerbang ke lo, bukan kunci pintu utama," imbuhku sambil menggeleng kepala.
"Ke Jogja, yuk! Minggu depan, temenin gue yang lagi galau," ajaknya.
"Enggak bisa Zoel, kan gue reading."
"Reading sama siapa? Julia Peterson?"
Deg. Kepalaku rasanya seperti dibedil. Zoel kemudian mendekap dan mengusap kepalaku layaknya kakak menenangkan adik.
(Bersambung)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.