Sutradara Bicara Kesulitan Membuat Film Surat dari Kematian

Film Surat dari Kematian tayang 9 Januari 2020.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Des 2019, 06:30 WIB
Diterbitkan 29 Des 2019, 06:30 WIB
Hestu Saputra
Hestu Saputra bersama penulis novel Surat dari Kematian

Liputan6.com, Jakarta Salah satu film horor yang bakal menjadi pembuka awal tahun 2020 adalah ’Surat dari Kematian’. Film yang diangkat  dari novel karya Adham T. Fusaka ini disutradarai oleh Hestu Saputra. 

Hestu Saputra menceritakan kalau ‘Surat dari Kematian’ berbeda dengan kebanyakan film horor lainnya. Menurut Hestu, film 'Surat Dari Kematian' ini mengedepankan cerita investigasi dari tokoh utama.

“Dalam film ini mengenalkan dunia gaib dan manusia. Basic-nya logic dan unlogic. Itu yang paling kuat dan menarik. Dengan beda pemikiran itu hasilkan kasus. Percampuran formulasi horor dan hal yang logis," ujar Hestu Saputra saat ditemui di kantor Max Pictures, Gondangdia, Jakarta Pusat, baru-baru ini.

 

Debut

Ody Mulya Hidayat
Produser Ody Mulya Hidayat bersama sutradara film Surat dari Kematian.

Film 'Surat dari Kematian' dibintangi oleh Jerome Kurnia, Carissa Perusset, Dania Salsabila, hingga Endy Arfian. Film ini bakal tayang serentak di bioskop pada 9 Januari mendatang. 

Meski begitu, Hestu mengatakan kalau film ini merupakan debutnya dengan genre horor. Selama proses syuting, Hestu pun  sudah pasti menemui kendala.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Masalah

Poster Surat dari Kematian
Poster film Surat Dari Kematian

Salah satu masalah yang dihadapinya adalah ketika dirinya ingin menggunakan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).  

"Satu bulan lebih, izin itu belum muncul, karena birokrasi. Setelah lolos ternyata gampang, dan murah. Kita diberi keleluasaan mau pakai mana aja, kecuali yang bagian depan, seperti Balairung jangan buat syuting. Balairung itu (ciri khas) UGM banget," ujarnya. 

 

Kejadian Mistis

Selama syuting, tak jarang Hestu juga mengalami kejadian mistis yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.  

"Saya awalnya enggak percaya, saya pikir, tiap ada cerita mistis itu gimmick buat naikin filmnya. Tapi akhirnya saya merasakan," ucapnya.

 

Kecewa

Selain itu, Hestu juga sempat kecewa ketika film yang disutradarainya ini diberi label klasifikasi 17 tahun ke atas. Dirinya menginkan filmnya dapat dinikmati penonton yang berusia 13 tahun ke atas. 

"Dapat rating 17+, saya protes. Ini bukan karena uang atau biar ditonton banyak orang, tapi punya message tentang bullying, bukan soal pembunuhan atau apapun," ujar Hestu Saputra.

"Film ini sudah dibuat untuk konsumsi 13+, tapi ternyata mereka (LSF) ngasih 17+. Belum ada balasan dari mereka mengenai alasan 17+, setelah ada kita akan argue," lanjutnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya