Pekerja Film Harus Memiliki Standar Acuan Perlindungan Hukum

Para pekerja film di Indonesia seharusnya memiliki acuan perlindungan hukum yang jelas agar mereka memperoleh kepastian perlindungan hukum.

oleh Hernowo Anggie diperbarui 18 Okt 2022, 22:57 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2022, 11:44 WIB
Pakar Hukum Perburuhan Kemalsyah Siregar
Pakar Hukum Perburuhan Kemalsyah Siregar. (Dok. IST/FFWI)

Liputan6.com, Jakarta Kini sudah saatnya para pekerja film di Indonesia memiliki acuan perlindungan hukum yang jelas, agar mereka memperoleh kepastian perlindungan hukum.

Demikian disampaikan oleh Pakar Hukum Perburuhan, Kemalsyah Siregar, dalam seri keempat webinar Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI), Jumat (15/10), di Jakarta dengan tema “Perlindungan Hukum bagi Pekerja Film.”

“Dengan kata lain, ada warning system," kata Kemalsyah Siregar yang juga lulusan Fakuktas Hukum UI itu.

Kemal menjelaskan, dalam perlindungan hukum terhadap para pekerja film, ada dua aspek. Pertama perlindungan hukum yang terkait dengan hak kekayaan intelektual seperti hak cipta dan sebagainya. Sedangkan aspek kedua, perlindungan hukum terhadap diri para pekerja perfilman.

Menurut Kemal, bidang keahlianya sebagai advokat, hanya terbatas pada perlindungan hukum perburuhan kepada para pekerja perfilman.

“Untuk yang pertama soal hak kekayaan intelektual, saya tidak mau atau tidak dapat memberi komentar karena hal itu di luar bidang saya,” terang Kemal.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Perjanjian Kerja yang Pas

Niniek L Karim
Niniek L Karim, artis yang juga psikolog sosial UI. (Dok. IST)

Menurut pakar perburuhan yang menjadi advokat banyak perusahaan besar ini, dilihat dari jenis pekerjaannya, sudah perlu diperhatikan adanya perjanjian kerja yang mengatur jam kerja ideal bagi pekerja film.

“Idealnya perjanjian kerja yang pas dan sesuai dituangkan dalam surat kontrak, waktunya hanya 7 jam sehari atau 40 jam untuk enam hari kerja,“ tandas Kemal.

Kemudian kalau ada lembur, tambah Kemal, harus sesuai dengan yang diatur oleh UU Perburuhan.

“Minimal sesuai dengan peraturan setempat,” jelasnya.

Istilah setempat pun, dalam pandangan Kemal, harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan kontrak awal, bukan semata dikaitkan dengan tempat lokasi pengambilan gambar semata.

Selain Kemalsyah Siregar, dalam webinar itu juga ditampilkan Niniek L Karim, artis yang juga psikolog sosial UI, dan sutrada muda Hadrah Daeng Ratu .

 


Peran Penting Wartawan

Manakala memberi sambutan dalam webinar ini, Direktur Perfilman Musik dan Media Kemendikbud Ristek RI, Ahmad Mahendra, mengemukakan peran penting wartawan dalam perjalanan perfilman Indonesia.

“Wartawan film dan budaya di Indonesia adalah pilar utama dan mengambil peran sangat penting sebagai penguat ekosistem perfilman tanah air, “ kata Mahendra.

Menurut Mahendra, sejarah telah membuktikan peran penting wartawan film dalam perjalanan panjang film Indonesia.

Mahendra menambahkan, berdasarkan pemahaman itulah dia menilai Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) sangat penting keberadaan dan keberlangsungannya.

“Karenanya, Direktorat Perfilman Musik dan Media Kemendikbud Ristek RI memberikan dukungan sepenuhnya atas terselenggaranya FFWI XII tahun 2022 ini,” tambah Mahendra.

Menurut Mahendra, tema ini sangat penting bagi perfilman nasional Indonesia. Oleh sebab itu dia mengusulkan agar tema ini dikembangkan untuk acara nasional.

 


Soal Jam Kerja

Sedangkan, Niniek L Karim dalam pemaparannya menyampaikan beberapa hal, di antaranya soal jam kerja yang tidak sesuai dengan upah yang diterima. Bahkan ia mengangap hal itu seperti kerja rodi.

“Misalnya seorang figuran film, kerja dari subuh ke subuh lagi dan hanya dapat honor yang enggak semestinya, Ini kan kerja rodi," ungkap Niniek L Karim.

Sutradara Hadrah Daeng Ratu lebih menyoroti ke kontrak kerja. Dia mengungkapkan, kontrak kerja dalam perfilman nasional kebanyakan cuma ditandatangan chief atau pimpinan kelompok.

“Itupun tidak semua kru tahu. Sementara di surat kontrak tertulis berlaku untuk semua kru,” kata Hadrah.

 


Kesadaran Kontrak

Berdasarkan pengalaman Hadrah, sering terjadi pembatalan sebuah produksi tanpa kompensasi apa-apa. Oleh sebab itu ia mengajak kepada para pekerja film untuk mengkampanyekan kesadaran kontrak.

“Harus dikampanyekan lagi kesadaran kontrak kerja antara kru dan rumah produksi," ujar Hadrah .

Hadrah berpendapat, normalnya kru film bekerja tidak lebih dari 14 jam. Kalau bekerja lebih 20 jam kemungkinan besar berdampak banyak, misalnya ada sakit. Selain itu jika pulang larut malam, karena kecapekan ada bahaya di jalan.

Selain itu Hadrah mengungkapkan, karena sering terjadi tidak tepat waktu sehingga jadwal syuting menjadi mundur.

“Akibatnya merugikan para pekerja film,” tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya