Kutipan Inspirasi Surabaya: Wujudkan Mimpi dengan Usaha

Pria kelahiran Surabaya pada 1982 ini menyelesaikan kuliah S1 di UK Petra pada 2004. Kemudian melanjutkan studi S2 dan S3 di Asia dan Eropa.

oleh Agustina Melani diperbarui 11 Sep 2019, 11:00 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2019, 11:00 WIB
(Foto: Dok Pribadi)
Markus Santoso (Foto: Dok Pribadi)

Liputan6.com, Jakarta - Berkarya di luar negeri dengan meneliti lebih dalam mengenai teknologi augmented reality (AR) atau realitas bertambah dan virtual reality (VR) atau realitas maya menjadi kesempatan berharga bagi pria kelahiran Surabaya ini.

Bagi Markus Santoso, perjalanan menjadi ilmuwan, berkarya di luar negeri ditempuh dengan melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan mengejar beasiswa jadi kesempatan. Pria kelahiran Surabaya pada 1982 ini menyelesaikan kuliah S1 di UK Petra pada 2004. Kemudian melanjutkan studi S2 di Dongseo University, Busan, Korea Selatan. Setelah selesai melanjutkan studi pada 2006, kemudian kembali ke Surabaya.

Markus melihat pentingnya akademisi untuk memiliki karier yang berkelanjutan dengan memiliki gelar doktor atau S3. Usai sempat mengajar selama 1,5 tahun di Universitas Ciputra, kemudian melanjutkan studi S3 di Dongseo University.

Selama studi S3 tersebut, ia bergabung di research lab Institute of Ambient Intelligence. Ia bekerja di bawah bimbingan supervisor Prof. Lee Byoung Gook. "Di sinilah saya menjadi lebih passionate dengan kegiatan scientif research," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com ditulis Rabu (11/9/2019).

Setelah melanjutkan studi S3, ia tak berhenti untuk mengejar ilmu. Untuk menjadi ilmuwan, ia pun harus mengikuti program proses pematangan yang bernama Postdoctoral Research.

Pada 2013, ia menyelesaikan studi S3. Kemudian dirinya terpilih dalam program Alain Bensoussan Felloship Program yang didanai The European Research Consortium for Informatics and Mathematics (ERCIM) untuk melakukan Postdoctoral Research di Fraunhofer Institute for Digital Media Technology di Erfurt, Jerman.

"Untuk program postodoctoral ini, saya perlu berkompetisi dengan sekitar 300-an scientist bergelar PhD dari berbagai penjuru dunia dan hanya 24 applicant yang terpilih termasuk saya," ujar ayah dari satu anak ini.

Kemudian ia melakukan postdoctoral research yang kedua di LINDSAY Virtual Human Lab University of Calgary pada 2015.  Selanjutnya pada 2017, ia memulai karier sebagai assistant professor (Tenure-track faculty) di Montclair State University, Montclair-New Jersey. Pada musim panas 2018, dirinya pindah ke University of Florida untuk posisi assistant professor.

Saat berkarier di luar negeri tersebut, ia meneliti soal teknologi VR dan AR. Ia tertarik meneliti itu karena berawal dari kegemaran menonton science fiction movie terutama pada scene-scene yang berkaitan dengan holography. "Ketika saya pertama kali mencoba teknologi AR seketika itu pula teringat dengan scene-scene holography di film scifi

Sejak itu, ia ingin mempelajari dan mendalami teknologi AR karena teknologi ini yang dinilai paling mendekati visi ideal holography. Teknologi ini memvisualisasikan konten digital 3-dimensi di real environment. "VR Juga mengingatkan saya pada beberapa scene film scifi favorit saya seperti holodeck dari film startrek dan film matrix,” ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Jadi Akademisi di Luar Negeri

(Foto: Dok Pribadi)
Markus Santoso (Foto: Dok Pribadi)

Markus mengatakan, peluang berkarier di luar negeri ini memberikan kesempatan akses ke teknologi terkini AR-VR menjadi sangat mudah. Ini karea mayoritas inovasi di area berasal dari perusahaan Amerika Serikat (AS). Dengan berkarier di luar energi mengangkat level kompetisi.

"Berada di negara maju yang kultur risetya sudah mapan dan kompetitif secara tidak langsung turut mengangkat level kompetitif kita,” tutur dia.

Ia menambahkan, akses ke kolaborator riset yang merupakan top expert di bidang-bidang spesifik seperti bidang neurologi, Parkinson, oncology dan yang lain menjadi lebih mudah. Markus menilai dengan menjadi akademisi di negara maju juga diberikan penghargaan yang layak. Hal ini membuat dirinya fokus untuk melakukan tugas utama sebagai akademisi tanpa harus khawatir kondisi keuangan rumah tangga.

Selain itu, ia juga mendapatkan perlakuan yang baik selama berada di Amerika Serikat. Ia merasa dirinya dan keluarga diterima di komunitas tersebut.

"Spesifik untuk University of Florida, mereka akhir-akhir ini memiliki upaya ekstra untuk meningkatkan Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) jadi walaupun kami adalah imigran dari luar Amerika Serikat dengan Bahasa Inggris yang beraksen, kami tetap mendapat perlakuan yang sangat baik,” tutur dia.

Markus pun memiliki pesan-pesan untuk generasi muda untuk meraih cita-citanya. Ia mengingatkan agar tidak takut bermimpi besar. Bila mimpi itu didukung dengan upaya, niat baik dan doa yang tulus maka satu per satu pintu akan dibukakan.

"Ada pepatah berkata "If you can dream it, you can achieve it", jangan pernah takut untuk bermimpi besar karena impian didukung dengan upaya, niat baik dan doa yang tulus maka perlahan-lahan satu per satu pintu akan dibukakan hingga pada akhirnya kita bisa mencapai impian tersebut,” kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya