Modus Bos Komplotan Pembobol Kartu Kredit Rekrut Peretas

Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) mengungkap modus yang dilakukan pimpinan dari komplotan pelaku pembobol kartu kredit untuk merekrut peretas baru.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Des 2019, 20:31 WIB
Diterbitkan 04 Des 2019, 20:31 WIB
Penangkapan Ditangkap Penahanan Ditahan
Ilustrasi Foto Penangkapan (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) mengungkap modus yang dilakukan pimpinan dari komplotan pelaku pembobol kartu kredit untuk merekrut peretas baru.

"Modusnya, Hendra, ketua kelompok ini membuka lowongan untuk posisi clearning service di media sosial dengan syarat cukup lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),” ujar Kasubdit V Siber Polda Jatim AKBP, Cecep Susatya, seperti dilansir Antara, Rabu (4/12/2019).

Cecep mengatakan, tidak ada syarat khusus lain yang dicantumkan pimpinan komplotan pembobol kartu kredit itu, hanya lulusan SMK dan punya kemampuan komputer.

Usai pelamar mengirim surat lamaran, Hendra akan menyeleksi terlebih dahulu. Kemudian memanggil pelamar yang memenuhi kriteria untuk dilakukan tes langsung.

"Begitu mereka (pelamar) datang, mereka di kasih tugas semacam training, mereka diajari spamming, google.id, dan sebagainya. Sesuai divisi tugas yang ada,” tutur Cecep.

Lebih lanjut, para remaja yang sudah mendapatkan pelatihan menjadi spammer itu akan ditugasi mengirim berbagai penawaran akun developer kartu kredit secara acak. Tiap akun nilainya Rp 400 ribu.

"Caranya mereka mengiklankan produk orang atau perusahaan luar. Nah, untuk mengiklankan dia harus bayar, tapi bayarnya di google dalam bentuk dolar,” tutur dia.

"Untuk pembayaran menggunakan kartu kredit yang telah diambil oleh divisi spammer,” ia menambahkan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Sasaran Warga Eropa dan Amerika

Kartu Kredit
Ilustrasi Foto Kartu Kredit (iStockphoto)

Cecep menuturkan, komplotan pembobol kartu kredit ini menentukan sasaran secara acak. Akan tetapi, setelah diselidiki banyak warga negara Eropa dan Amerika yang menjadi korbannya. Alasannya karena sistem perbankan di sana lebih mudah.

"(Perbankan di sana) bila nasabah yang punya kartu kredit mengklaim tidak melakukan transaksi sesuatu, pihak bank punya kewajiban me-refund dana yang keluar dari nasabah. Jadi merasa tidak ada yang dirugikan," tutur Cecep.

"Tapi, UU ITE tidak melihat di situ, tapi kami melihat metode curang yang digunakan di dunia maya,” ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya