OPINI: Menanti Gebrakan Indonesia di Era 5G dan 6G

Kontribusi putra-putri Indonesia dalam pengembangan teknologi 5G dan 6G menjadi sangat penting dan perlu dipercepat.

oleh Liputan6 diperbarui 06 Apr 2016, 18:00 WIB
Diterbitkan 06 Apr 2016, 18:00 WIB
Khoirul Anwar
Opini Khoirul Anwar (Liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta - Teknologi telekomunikasi berkembang sangat pesat sejak 1948 setelah informasi berhasil diukur secara numerik, yang nilai maksimalnya sama dengan B log2 (1+SNR), dengan B bandwidth dan SNR sebagai rasio daya sinyal terhadap noise, yang kemudian dikenal dengan Shannon limit.

Keberhasilan "pengukuran" inilah yang kemudian mengilhami ratusan penemuan berikutnya. Seperti Turbo Codes dan Polar Codes yang kini menjadi salah satu teknik mutakhir, untuk menjadikan pemrosesan teknologi 5G memiliki latency sangat singkat sekitar 1 milidetik.

Dengan kemajuan bidang pemrosesan sinyal digital dan dukungan information theory dan coding theory, perkembangan teknologi telekomunikasi makin tak terbendung. Kini, teknologi 5G hampir mapan dan siap digelar pada 2020. Jepang bisa menjadi negara pertama yang berkesempatan "menjajal" teknologi 5G di ajang Tokyo Olympic and Paralympic 2020 berbiaya Rp 15 triliun tersebut (prediksi 2014).

Tidak berhenti di teknologi 5G saja, pada Februari 2016 penulis mendapat undangan dari Komisi Uni Eropa terkait proposal teknologi 6G, yang dijadwalkan sudah mulai masuk pada November 2016. Teknologi 6G ditargetkan menjadi teknologi yang bisa mewujudkan wireless at the speed of light, dengan kecepatan Terabyte per second (Tbps) pada frekuensi di atas 90 GHz.

Teknologi 5G dan 6G sangat berbeda dengan teknologi pendahulunya 2G, 3G, dan 4G. Mulai dari teknologi 5G ini, sistem telekomunikasi "mencampurkan" komunikasi benda, things-to-things communications (T2T) dengan komunikasi manusia, human-to-human communications (H2H). Hal ini tak lain karena manusia ingin semua barang bisa dikontrol sedemikian rupa, sehingga fungsi setiap benda dapat dioptimalkan.

Jika sebuah benda atau device tidak dipakai, ya harus bisa mati sendiri. Jika mobil berjalan terlalu cepat, ya harus ada sistem yang menjadikannya lambat. Jika stok telur sudah habis, ya harus ada sistem yang mengingatkan untuk membeli kembali, bisa lewat notifikasi di mobile phone. Gambarannya seperti itu di level aplikasi. 

Dari segi efisiensi, rupanya seperti inilah teknologi yang lebih diperlukan di masa depan. Harapan akan manfaat besar semacam ini memaksa sistem yang sudah eksis sekarang harus "diganti" atau minimal "diubah", sehingga mampu mengakomodasi ledakan traffic era 5G dan 6G dengan masuknya traffic T2T.

Dengan kenyataan ini, Shannon limit tidak lagi sepenuhnya berlaku, melainkan harus ditambah dengan, misalnya, teori kapasitas jaringan yang memasukkan parameter skala jumlah device.

Teori Baru 

Penulis memformulasikan teori baru di [1] dan [2], karena problem utama jaringan masa depan telah berubah, dari komunikasi antardua titik, menjadi komunikasi antarratusan atau bahkan ribuan titik. Akan tetapi, penulis menemukan bahwa tetap ada area yang disebut "physically impossible", yaitu sebuah area di mana jika device terlalu banyak, tetapi manusia menghendaki kecepatan tinggi. Area ini menantang para peneliti untuk mencari solusinya.

Ericsson, dalam survei whitepaper tahun 2011, memperkirakan jumlah device terhubung ke internet pada 2020 akan mencapai 50 miliar (50.000.000.000). Padahal jumlah manusia saat itu hanya sekitar 5 miliar. Ini berarti bahwa perbandingan manusia dan device berkisar di angka 1:10.

Sebenarnya ini bukan angka yang terlalu berlebihan, karena kondisi sekarang sudah mulai dirasakan banyak orang yang memiliki smartphone, komputer tablet, laptop, desktop. Semuanya saling terhubung melalui internet, sehingga setidaknya angkanya sudah 1:4 dan diperkirakan akan terus merangkak menuju 1:10.

Terkait dengan 5G dan 6G ini, masalah sebenarnya bukan pada sulitnya berinovasi, karena penulis percaya bahwa banyak putra-putri Indonesia yang jenius, baik di dalam maupun di luar negeri. Masalahnya justru lebih kepada kekhawatiran tidak optimalnya potensi Indonesia pada 2020-2030, yang diprediksi menjadi salah satu negara berekonomi kuat dengan Gross Domestic Product (GDP) per Capita 5.870 USD (McKinsey, 2015).

Saat itu penduduk Indonesia hampir mencapai 290 juta jiwa dan jumlah masyarakat menengah (konsumtif) akan mencapai 130-150 juta. Indonesia benar-benar akan menjadi pasar potensial untuk dunia, termasuk untuk produk telekomunikasi.

Kontribusi putra-putri Indonesia dalam pengembangan teknologi 5G dan 6G menjadi sangat penting, dan perlu digesa karena sebagian besar pemakai teknologi tersebut bukan tidak mungkin adalah bangsa kita sendiri.

Indonesia Broadband Plan (IBP) dengan target smart city untuk mencapai penetrasi 49 persen, sebaiknya bisa dipacu lagi sampai 70 persen, sehingga sindiran orang tentang negara kita seperti "not much happen outside Jakarta" tidak lagi terjadi.

Penetrasi juga harus lebih agresif lagi melalui fiber optik mutakhir, karena ini akan bermanfaat dalam mendukung teknologi 6G masa depan, yang akan memadukan sistem wireless dengan sistem bermedium cahaya dan seluruh turunannya.

Turut berkontribusinya kita, baik dengan paten atau pun kualitas membuat produk yang support 5G dengan Internet-of-Things (IoT)-nya, dan 6G dengan kecepatan cahayanya, akan memacu keuntungan berlipat bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Majunya teknologi telekomunikasi Indonesia ini diharapkan mampu menjadi solusi sementara untuk mahalnya pembangunan infrastruktur fisik.

Misalnya, teknologi telekomunikasi yang cepat dapat mengurangi penggunaan transportasi umum, menjadi solusi atas kurangnya ekspansi jalan raya, mengurangi perlunya pembangunan bandara, dan mengurangi terkonsentrasinya penduduk di satu pulau. Bahkan teknologi 5G dan 6G justru mampu mendukung penyebaran penduduk lebih merata, karena tinggal di mana pun menjadi "no problem" setelah adanya internet cepat.

Sistem Telekomunikasi di Indonesia
 
Menurut McKinsey, pada 2030 daerah-daerah di Indonesia yang akan memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen justru berada di luar Jawa. Penulis mendukung prediksi ini, karena saat itu sistem telekomunikasi di seluruh Indonesia sudah sangat bagus, sehingga tinggal di mana pun tidak menjadi soal, dan ekonomi pun tidak lagi terpusat di pulau Jawa.

Manfaat lain dari kecanggihan teknologi IoT pada 5G dan 6G mampu menambah layanan baru ke masyarakat, misalnya untuk perawatan manula dengan e-Healthcare, memperluas pendidikan berkualitas dan lebih masif ke pelosok pulau, juga memperbaiki layanan darurat ke masyarakat early warning system yang lebih modern dan canggih.

Merujuk pada survei dari The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) 2006, sektor telekomunikasi selalu menjadi sektor utama setelah air minum dalam kurun 2000-2030. Bahkan sektor telekomunikasi akan membantu optimalisasi sektor lainnya seperti sektor transportasi dan energi listrik karena kecanggihan teknologi IoT yang memadukan T2T dengan H2H.

Penulis berharap Indonesia yang sampai kini disebut "Indonesia is nothing without natural resources" bakal berubah menjadi "Indonesia is everything with great communications technologies".

Untuk mengoptimalkan jaringan 5G dan 6G Indonesia, analisis network capacity yang melibatkan beragam device, beragam infrastruktur, dan satelit menjadi sangat perlu, sehingga total performance bisa dievaluasi secara eksak. Analisis seperti ini adalah suatu hal yang mungkin sepanjang jaringan yang rumit tersebut bisa diasumsikan sebagai sebuah struktur coding raksasa, seperti ditunjukkan pada gambar 1.


Gambar 1 - Gambaran sederhana yang memungkinkan dilakukan analisis numerik kapasitas jaringan Indonesia meskipun berstruktur kompleks melibatkan beragam jenis infrastruktur termasuk satelit dan ribuan device dengan mengasumsikan struktur jaringan tersebut seperti struktur sebuah coding raksasa. Kredit: Khoirul Anwar

Ajakan Berkontribusi Nyata

Sebagai langkah nyata atas pentingnya kontribusi Indonesia dalam pengembangan teknologi 5G dan 6G, bahkan mungkin beyond 6G, penulis menemukan setidaknya ada tiga poin nyata untuk segera dilakukan:

(1) Memperbanyak kiprah peneliti Indonesia di konferensi internasional, yang benar-benar memungkinkan terjadinya pembukaan networking baru dengan komunitas internasional. Dengan kiprah ini peneliti Indonesia dikenal dunia, sehingga memudahkan terbentuknya kerja sama internasional yang lebih pas dan konkret.

Penulis beberapa kali mendapat tawaran untuk konferensi internasional bisa dilaksanakan di Indonesia. Hanya saja board members sering kali menunda, karena belum banyak peneliti Indonesia yang aktif dalam konferensi internasional seperti ini.

Manfaat lain yang didapat bisa berupa update teknologi dan tren penelitian dunia, sehingga kita bisa sama dalam ritme topik-topik terkini dunia. Update teknologi ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap topik penelitian dan tugas akhir mahasiswa di kampus-kampus, yang dengannya banyak inovasi baru bermunculan dari Indonesia.

Jika penulis mengamati lebih dalam, problem ini ternyata bukan karena kurangnya inovasi, akan tetapi lebih kepada mahalnya biaya registrasi beberapa konferensi top bidang telekomunikasi, seperti IEEE International Conference on Communications (ICC) dan IEEE Global Communications (GLOBECOM) yang biaya registrasinya sekitar US$ 850-900 atau setara dengan Rp 11-13 juta.

Penulis menilai bantuan pemerintah sebaiknya berdasarkan biaya registrasi. Untuk kasus konferensi internasional, biasanya makin top sebuah konferensi, makin mahal biaya registrasinya. Jadi bantuan untuk paper yang diterima di konferensi internasional tidak dipukul rata karena konferensi bergengsi biasanya memiliki acceptance rate rendah.

Artinya, kemungkinan diterimanya rendah karena sangat kompetitif (di bawah 20%). Bantuan biaya registrasi ini juga bisa dianggap sebagai hadiah atas kesuksesan sang peneliti menembus konferensi bergengsi tersebut.

Berdasarkan pada catatan data World Bank pada kurun 2011-2015, sumbangan paper berkategori scientific and technical journal articles dari Indonesia baru sekitar 270 papers. Angka ini masih di bawah Bangladesh yang berjumlah 291 papers.

Peringkat teratas ditempati oleh Tiongkok dengan jumlah 89.894 papers, Jepang 47.106 papers, dan Jerman 46.259 papers. Momentum 5G dan 6G ini diharapkan mampu mendongkrak sumbangan artikel dan inovasi teknologi Indonesia dari bidang telekomunikasi.

(2) Berlomba mendapatkan projek internasional sebagai wujud dari networking dengan berbagai institusi dunia. Partisipasi ini akan bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan berbagai institusi Indonesia dan bahkan sampai mahasiswa dan post-doctoral.

Melihat potensi 5G dan 6G yang begitu besar, penulis mengajak semua peneliti untuk berpartisipasi dalam proyek internasional, misalnya EU Horizon 2020 (H2020). Program  H2020, yang merupakan kelanjutan dari FP7, menyediakan dana total hampir 80 miliar Euro (sekitar 1.200 triliun rupiah) dan merupakan program terbesar di Eropa untuk riset dan inovasi. Yang justru menarik adalah adanya dua kategori untuk negara non-EU, yaitu (a) automatically eligible for funding dan (b) non-automatically eligible for funding.

Indonesia bersyukur menjadi salah satu negara berkategori automatically eligible for funding, yang merupakan kesempatan luar biasa untuk berpartisipasi aktif di skala internasional. Meskipun peluang diterima cukup kecil, sekitar 14%, sayang jika para peneliti Indonesia menyia-nyiakan kesempatan ini.

Penulis pernah berbincang dengan ketua EU-Japan di Tokyo pada Februari 2016 terkait dengan aplikasi proyek H2020 dari Indonesia. Hasil perbincangan ini begitu positif dan diharapkan peneliti Indonesia akan menikmati "boosting" sitasi, demonstrasi alat dan produk, jika berhasil menembus proyek H2020.

(3) Membuka diri untuk bekerja sama universitas-industri-pemerintah untuk meningkatkan ekonomi negara. Menurut hasil penelitian tahun 2013, pembelanjaan negara untuk riset dan pengembangan (R&D) memberi efek positif terhadap jumlah publikasi di negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Misalnya, dana R&D sebesar 2 persen dari GDP dikabarkan bisa menghasilkan 2 juta publikasi. Seperti ditunjukkan pada Tabel 1, dana R&D Indonesia baru sekitar 0.083 persen, Malaysia 0.635 persen sedangkan Jepang 3.43 persen dari GDP. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa banyaknya universitas dan jurnal yang terakreditasi di setiap negara, sangat berpengaruh besar terhadap jumlah publikasi. Misalnya 500 universitas dan 200 jurnal terakreditasi berkorelasi dengan 2 juta publikasi.

Sayangnya tidak ditemukan hubungan antara GDP (2012) dan jumlah publikasi ilmiah, misalnya Jepang dengan GDP tahunan per kapita sebesar 40.101 USD, memiliki publikasi 1.604.017 paper, akan tetapi China dengan GDP per kapita 3.938 USD mampu memiliki publikasi 2.248.278 paper.

Kondisi sebaliknya terjadi di Qatar dengan GDP per kapita yang sangat tinggi 75.178 USD, hanya memiliki publikasi 4.398 paper. Indonesia sendiri berada di tengah-tengah dengan GDP per kapita 2.550 USD memiliki publikasi 16.139 paper. Kondisi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 ini memang menarik untuk dicarikan solusinya.

Anomali hubungan GDP per Capita dengan jumlah publikasi di Asia [3]

Untuk Indonesia, penulis memandang sebuah solusi yang berharap jitu untuk problemanomali ini, yaitu dengan kerja sama yang benar-benar konkret antara universitas-indutsri-pemerintah, sehingga suatu teknologi benar-benar bernilai ekonomis. Selama penulis menempuh studi master dan doktor di Jepang, penulis tidak pernah absen dari promosi penelitian dan aplikasinya bersama industri dan pemerintah.

Hasil penelitian penulis, dipatenkan dengan bantuan 100 persen pemerintah Jepang dan dipakai penuh oleh industri satelit di Jepang. Teknologi ini diproduksi di Osaka, diintegrasikan di Tokyo, dan diuji lapangan di Hachijojima, Jepang.

Penulis mendapatkan royalti 80 persen dan berharap kenyataan seperti ini bisa terjadi di Indonesia kepada banyak putra-putri Indonesia, juga untuk kenaikan ekonomi bangsa Indonesia.

[1]. Khoirul Anwar, "Graph-based Decoding for High-Dense Vehicular Multiway MultirelayNetworks", IEEE Vehicular Technology Conferece (VTC2016-Spring), Nanjing, China, May 2016.
[2]. Khoirul Anwar, " High-Dense Multiway Relay Networks Exploiting Direct Links as Side In-formation”, IEEE International Conference on Communications (ICC 2016), Kuala Lumpur, Malaysia, May 2016.
[3]. S. A. Meo, et. al, "Impact of GDP, Spending R&D, Number of Universities and Scientific Journals on Research Publications among Asian Countries", PLOS One Journal, Vol. 8, No. 6, June 2013.

Penulis adalah Assistant Professor pada Coding Theory and Signal Processing Lab.,School of Information Science, Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST), Japan.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya