Liputan6.com, Jakarta Kemenangan mengejutkan Donald Trump melahirkan kekhawatiran di lingkungan perusahaan-perusahaan teknologi dan masyarakat sipil pro-kebebasan. Mereka khawatir Trump akan berusaha mengembangkan program pengawasan, agar pemerintah memiliki akses ke informasi yang dienkripsi.
Selama masa kampanye, Trump menyinggung berbagai hal mengenai sektor teknologi, termasuk himbauan menutup akses internet di area tertentu untuk membatasi propaganda kelompok militan. Â
Selain itu, ia juga mendesak melakukan boikot produk-produk Apple karena perusahaan pernah menolak membantu FBI membuka kunci iPhonne, terkait kasus penembakan San Bernardino.Â
Baca Juga
Trump juga mengecam tindakan antitrust atau antipakat yang dilakukan Amazon.com dan menuntut perusahaan-perusahaan teknologi, seperti Apple, agar membuat produknya di Amerika Serikat (AS).
Melihat sepak terjang Trump selama ini, tidak menutup kemungkinan ia akan mendesak membuat backdoor.
Backdoor atau "pintu belakang", dalam keamanan sistem komputer, merujuk kepada mekanisme yang dapat digunakan untuk mengakses sistem, aplikasi, atau jaringan, selain dari mekanisme yang umum digunakan.
"Saya membayangkan Trump menjadi orang yang mungkin akan memerintahkan membuat backdoor. Saya pikir dia tidak akan menjadi orang yang bersahabat dengan privasi. Ketakutan saya mengatakan dia akan membuat badan-badan intelijen lebih terlibat dalam penegakan hukum domestik," ungkap Chief Operating Officer (COO) Strategic Cyber Ventures dan veteran National Security Agency, Hank Thomas.
Salah satu pendiri WhatsApp, Jan Koum, pun buka suara mengenai kemungkinan adanya permintaan akses ke data yang dienkripsi.
Ia menyatakan akan sangat vokal melawan segala macam bentuk upaya mengenai hal tersebut. Menurutnya, akses terhadap data yang dienkripsi akan merusak reputasi perusahaan-perusahaan Amerika di area global. Demikian seperti dikutip dari Reuters, Jumat (11/11/2016).
(Din/Cas)
Advertisement