PR untuk Menggelar Layanan 5G di Indonesia

Selain frekuensi, ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk bisa menggelar layanan 5G di Indonesia.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 06 Feb 2020, 16:00 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2020, 16:00 WIB
Jaringan HP 4G dan 5G
Ilustrasi Foto Jaringan Telpon Seluler atau HP 4G dan 5G. (iSrockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Frekuensi 700MHz disebut-sebut sebagai salah satu kandidat terbaik untuk mendukung kehadiran 5G di Indonesia. Karena itu, dalam laporan terbarunya, GSMA mengatakan Indonesia harus segera melakukan realokasi di frekuensi ini.

Untuk diketahui, frekuensi 700MHz sekarang masih digunakan untuk keperluan TV analog. Karenanya, semua pihak terkait masih menunggu revisi Undang-Undang Penyiaran sebelum frekuensi ini dapat digunakan untuk layanan mobile broadband.

Kendati 700MHz merupakan kandidat untuk menggelar 5G di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sebenarnya juga menyiapkan sejumlah frekuensi lain untuk keperluan 5G.

"Persiapan untuk 5G itu mencakup semua band sebab 5G ini membutuhkan coverage yang sangat besar," tutur Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Ismail di Jakarta, Kamis (6/2/2020).

Namun Ismail mengatakan, selain ketersediaan frekuensi, ada pekerjaan rumah yang juga harus diselesaikan pihak operator sebagai penyelenggara, yakni tersambungnya antar BTS yang dimiliki melalui kabel fiber.

"Sebelum bicara spektrum 5G, tidak kalah penting adalah operator itu melakukan fiberisasi, menghubungkan antar BTS dengan kabel fiber. Sayang, kalau bangun 5G, tapi belum terkoneksi fiber. Di 5G itu (kabel) fiber keharusan," tuturnya menjelaskan.

Tanggapan ATSI

Ketua Dewan Pengawas ATSI Danny Buldansyah. Liputan6.com/Agustinus Mario Damar

Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pengawas Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Danny Buldansyah mengatakan persoalan backhaul di kota besar sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan.

Alasannya, menurut Danny, 5G sama seperti teknologi seluler lain, pasti akan pertama kali digelar di kota besar. Salah satu kota yang kemungkinan akan mengadopsinya pertama kali adalah Jakarta dan kondisi backhaul di kota ini sudah rapat.

"Jakarta itu sudah cukup rapat, backhaul di kota besar itu tidak perlu dikhawatirkan. Nanti begitu merambah ke kota nomor dua atau tiga, akan sedikit problematik. Namun begitu demand-nya ada, pasti akan dibangun," tuturnya melanjutkan.

Masalah Sebenarnya

Lebih lanjut Donny juga mengatakan persoalan yang sebenarnya dihadapi operator dalam pembangunan kabel fiber bukanlah investasi atau operasional pembangunannya, melainkan soal perizinan.

"Pemasangan fiber optic itu kan menggali jalan, masang tiang. Nah, ini butuh sinergi antara industri dengan pemerintah daerah," tuturnya melanjutkan.

Selai itu, dia mengatakan saat ini setiap pemerintah daerah memiliki regulasi yang berbeda. Dia mencontohkan ada daerah yang mengharuskan menyewa duct, ada pula yang mengharuskan menyewa kabel ke BUMD setempat, dan ada pula derah yang menerapkan retribusi.

"Nah, kami pengennya ada keseragaman, yang memberi jaminan kabel itu safe, tidak dipotong atau kena galian jalan. Yang kedua, harganya reasonable, kalau reasonable, sudah pasti tarif ke pelanggan bisa ditekan," tuturnya mengakhiri pembicaraan.

(Dam/Why)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya