Ancaman Deepfake dan Rekayasa Sosial di Tengah Maraknya Layanan Keuangan Digital

Kecepatan digitalisasi perlu disesuaikan dengan manajemen risiko yang tepat dan kepatuhan terhadap peraturan.

oleh Iskandar diperbarui 30 Sep 2022, 08:30 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2022, 08:30 WIB
Deepfake
Ilustrasi deepfake (Foto: Kaspersky)

Liputan6.com, Jakarta - Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), antara tahun 2017 hingga 2021, sebanyak 2.593 cabang bank fisik telah ditutup, tetapi pada saat yang sama terjadi pertumbuhan transaksi digital hingga tiga kali lipat.

Fenomena ini menandakan banyak bank yang telah menyadari adanya penurunan kebutuhan untuk kehadiran fisik karena kemajuan teknologi yang cepat dalam perbankan digital.

Belakangan ini sejumlah perusahaan perbankan dan platform e-commerce ternama di Indonesia membuka layanan dan aplikasi bank digital. Antara lain Jenius by BTPN, Livin by Bank Mandiri, Allobank, MNC Bank, dan Bank Jago.

Namun, menurut Country Manager Advance.ai (perusahaan solusi big data dan artificial intelligence/AI) Ronald Molenaar, kecepatan digitalisasi perlu disesuaikan dengan manajemen risiko yang tepat dan kepatuhan terhadap peraturan.

"Terutama dalam menghadapi serangan kriminal kian canggih termasuk identitas sintetis, peniruan identitas (deepfake), dan penipuan rekayasa sosial," kata Ronald melalui keterangannya, Jumat (30/9/2022).

Regulator seperti OKJ memfasilitasi transisi digital onboarding Indonesia agar tidak hanya mulus, tetapi juga aman dan terjamin.

Sejumlah peraturan telah diperkenalkan untuk berbagai proses eKYC (electronic Know Your Customer) untuk mencegah dan mengidentifikasi pencucian uang, pendanaan terorisme serta meminimalisir risiko pencurian identitas dan scamming (penipuan).

 


Manajemen Penipuan dan Risiko di Era Digital

phishing-131001b.jpg
Phishing

Ronald meniai di tengah pertumbuhan perbankan digital pasca-pandemi Covid-19, juga terjadi peningkatan aktivitas ilegal mulai dari pencurian identitas, aktivitas phishing, dan penipuan akun.

"Di Indonesia sendiri, Indonesia Anti-Phishing Data Exchange (IDADX) mencatat total 3.180 serangan phishing di domain internet Indonesia (dot.id) pada kuartal pertama tahun 2022," ucapnya menambahkan.

Di luar sektor perbankan digital, kepemilikan aset kripto di Indonesia termasuk yang tertinggi secara global, dengan hampir 41 persen penduduk Indonesia dengan pendapatan tahunan lebih dari US$ 14.000 memiliki aset kripto.

Berdasarkan data terakhir Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Kementerian Perdagangan, jumlah investor aset kripto di Indonesia pada Februari 2022 mencapai 12,4 juta investor.

Tetapi jumlah dan nilai penipuan kripto yang tinggi semakin mengkhawatirkan. Secara global, ada penipuan senilai US$ 14 miliar di kripto pada tahun 2021.

"Indonesia menyumbang 11 persen dari total korban penipuan kripto pada 2019, tertinggi kedua di dunia. Angka-angka tersebut membuktikan kerentanan konsumen dan bursa Indonesia terhadap penipuan dan peretasan semacam itu," kata Ronald. 


Menyeimbangkan Inovasi dan Perlindungan Konsumen

FOTO: Pengembangan Sistem Digital Perbankan di Tahun 2021
Teller menghitung uang di salah satu kantor cabang digital Bank BNI di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Regulator dinilai perlu mengawasi transaksi digital yang terjadi di Indonesia. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dengan sedikitnya 25 perusahaan perdagangan kripto berlisensi di Indonesia, BAPPEBTI juga baru-baru ini menghentikan penerbitan sertifikat pendaftaran bagi calon pedagang aset kripto.

"Menanggapi ancaman keamanan ini, langkah-langkah keamanan yang lebih ketat perlu diterapkan oleh bank, lembaga layanan keuangan, pertukaran kripto, dan platform multi-finance," tutur pria yang memiliki pengalaman selama 20 tahun di bidang teknologi, keuangan, dan fintech.

Itulah sebabnya manajemen data, keamanan, dan kepatuhan bagi setiap pelanggan menjadi perhatian penting bagi bisnis di masa mendatang.

Ronald berujar, dengan menggunakan AI, big data, dan machine learning, banyak dari proses ini dapat didigitalkan dan diotomatisasi ke tingkat akurasi yang lebih tinggi, menurunkan biaya dan sumber daya yang dibutuhkan sekaligus mencegah risiko reputasi.

"Bank, baik tradisional atau digital, multi-finance, dan perusahaan kripto juga harus mengevaluasi dan menilai mitra mana yang tepat bagi mereka dalam aspek ini, dan apakah mereka memiliki keahlian, bakat, dan teknologi yang diperlukan untuk mendukung mereka," ujarnya memungkaskan.

Hanya dengan begitu peluang yang dihadirkan oleh era digital dapat sepenuhnya diselaraskan dan dimanfaatkan untuk menyeimbangkan inovasi dan perlindungan konsumen.


Infografis: Deretan Bank Digital di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Infografis: Deretan Bank Digital di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis: Deretan Bank Digital di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya