Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah menggodok aturan baru terkait pembatasan platform digital pada generasi muda. Ini termasuk di dalamnya Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN) dan Peraturan Pemerintah (PP) Perlindungan Digital Anak.
Dalam hal ini Komdigi akan segera membentuk Tim Penguatan Regulasi Perlindungan Anak di Ranah Digital, yang nantinya akan merancang peraturan tentang perlindungan anak di ruang digital. Salah satu aspek yang dikaji adalah pembatasan usia anak dalam bermain media sosial (medsos).
Advertisement
Baca Juga
Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid mengatakan Langkah ini harus diambil untuk melindungi anak-anak dari konten-konten negatif seperti judi online, bullying, hingga kekerasan seksual di ruang digital.
Advertisement
"Kita tidak bisa membiarkan anak-anak tumbuh dalam lingkungan digital yang penuh ancaman. Pemerintah akan hadir untuk memastikan mereka terlindungi," kata Meutya Hafid.
Menkomdigi menjelaskan, Tim Penguatan Regulasi Perlindungan Anak di Ranah Digital akan memperkuat regulasi, meningkatkan pengawasan, dan menindak tegas konten berbahaya. Dengan begitu, anak-anak Indonesia bisa berinternet dengan aman.
Salah satu fokus utama saat ini adalah perlindungan anak di dunia digital. Menkomdigi menyebut pemerintah tengah berdiskusi dengan para akademisi dan pakar untuk menentukan batas usia yang tepat bagi anak-anak dalam mengakses platform digital.
"Kami ingin aturan ini benar-benar berdampak positif. Karena itu, kami menggandeng para ahli yang memahami tumbuh kembang anak agar kebijakan ini tepat sasaran," ucap Meutya Hafid.
Presiden Prabowo Subianto bahkan menginstruksikan agar regulasi terkait perlindungan anak di dunia maya bisa selesai satu atau dua bulan ke depan.
Terkait hal ini, Pakar Media Sosial, Enda Nasution, mengungkapkan bahwa wacana pemerintah itu sebenarnya bukan sekadar penyusunan regulasi, tapi juga mencakup edukasi dan penindakan.
"Update terbaru yang saya dapatkan bukan hanya penyusunan aturan, tapi juga ada edukasi dan penindakan," tuturnya kepada Liputan6.com, Selasa (11/2/2025).
Regulasi ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih aman bagi anak-anak dengan memastikan platform yang menyediakan akses bagi mereka memiliki sistem pengawasan memadai. Namun, efektivitas aturan ini bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu menjalankan pengawasan secara ketat.
"Saya tidak tahu persis kapasitas dan sumber daya apa saja yang sudah disiapkan pemerintah untuk mengawasi dan menegakkan regulasi ini," kata Enda.
Kendati demikian, ia mengimbau pemerintah untuk memikirkan implementasi dan penegakan regulasi ini dengan matang.
"Tentunya saya berharap implementasi dan penegakan peraturan baru ini sudah dipikirkan dengan baik, sehingga hasil dari berlakunya peraturan ini sesuai dengan harapan dan tidak menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan," Enda menambahkan.
Dengan tantangan yang ada, regulasi ini menjadi ujian bagi pemerintah dalam mengelola pengawasan platform digital secara efektif dan berkelanjutan.
Komdigi Koordinasi dengan Kementerian dan Lembaga Lainnya
Dalam menyusun regulasi ini, Menkomdigi tidak bekerja sendiri, tetapi juga menggandeng kementerian dan lembaga lainnya. Antara lain melakukan koordinasi dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Menteri Agama, serta Menteri Kesehatan.
"Seluruh menteri yang terlibat memiliki semangat yang sama dengan Presiden, untuk mempercepat perlindungan anak-anak di dunia digital," ujar Meutya.
Ia melanjutkan, tim yang dibentuk dalam Tim Penguatan Regulasi Perlindungan Anak di Ranah Digital terdiri dari perwakilan pemerintah, akademisi, praktisi, dan perwakilan LSM anak.
Menurutnya, regulasi ini tidak hanya bertujuan untuk memperketat pengawasan dan meningkatkan literasi digital bagi anak dan orangtua, tetapi juga memastikan adanya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku dan penyebar konten berbahaya.
Menkomdigi juga menekankan bahwa langkah ini bukan untuk membatasi, tetapi justru untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan hak warga negara.
"Negara-negara lain sudah lebih dulu memiliki regulasi ketat terhadap platform digital, dan Indonesia tidak akan ketinggalan. Kami ingin memastikan bahwa semua pihak, termasuk platform global, mematuhi aturan yang berlaku di Indonesia," ia menjelaskan.
Meutya memaparkan regulasi ini disusun bukan untuk pembatasan akses media sosial, tetapi pembatasan akses membuat akun-akun anak di media sosial.
"Pada dasarnya untuk menjelaskan persepsi yang beredar di media massa saat ini, apapun persepsi kita bersama. Hal yang terjadi atau yang sedang dirancang adalah bukan pembatasan akses media sosial, tetapi pembatasan akses membuat akun-akun anak di media sosial," ujar Meutya dalam rapat kerja di Komisi I DPR RI, Jakarta, dikutip dari Antara.
Advertisement
Panggil Platform Digital
Sejumlah Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) akan dipanggil untuk datang ke kantor Komdigi di Jakarta dalam waktu dekat. Hal ini dilakukan untuk pembahasan lanjutan tentang penguatan regulasi perlindungan anak di ruang digital.
Diwartakan Antara, Staf Ahli Bidang Komunikasi dan Media Massa Komdigi Molly Prabawaty mengatakan, dalam focus group discussion (FGD) lanjutan, platform digital diundang untuk memberikan masukan-masukan terkait regulasi perlindungan anak di dunia maya.
"Jadi, semua kami dengar masukannya, dari pendidikan tentunya guru, kemudian anak, suara anak kita dengar. Lalu dari sejumlah platform digital. Ini nanti akan bertahap begitu ya untuk FGD-FGD lanjutannya," kata Molly beberapa waktu lalu.
Menurutnya, payung hukum dari regulasi perlindungan anak terdapat di UU ITE Nomor 1 tahun 2024. Sementara, turunannya adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP).
Molly mengatakan, RPP tersebut sudah lama berproses dan diharmonisasi kepada Kementerian Hukum. Lalu proses selanjutnya ada di Sekretariat Negara (Setneg).
"Kami mau menyisipkan untuk perlindungan anak di ruang digital, di dalam PP kami berharap nanti PP-nya segera diketok dan disahkan," ujarnya.
Pada prosesnya, PP ini akan dinilai apakah perlu diubah menjadi Undang-Undang atau diturunkan melalui Peraturan Menteri (Permen).
Selanjutnya melalui Permen nantinya akan diatur lebih rinci terkait aturan khusus mengenai Penyelenggara Sistem Elektronik untuk perlindungan anak.
Sementara, menurut Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Anindito Aditomo, diperlukan adanya kategorisasi platform dan layanan dari PSE.
Ia menyebut, saat ini ada banyak layanan PSE yang bukan media sosial. Namun, platform-platform ini memungkinkan anak berinteraksi dengan orang asing.
Oleh karenanya, pembatasan usia kemungkinan akan dipetakan, bukan hanya sesuai tahap perkembangan anak tetapi juga profil risiko masing-masing layanan dan platform.
Daftar 5 Negara yang Batasi Usia Anak Akses Media Sosial
Aturan untuk membatasi usia anak dalam membuat dan mengakses media sosial juga telah diterapkan dan direncanakan di sejumlah negara. Dikutip dari laman Tech.co, berikut ini selengkapnya:
1. Australia
Pada November 2024, Australia menyetujui pelarangan media sosial untuk anak di bawah 16 tahun. Langkah tersebut mencakup platform seperti TikTok, Twitter, dan Facebook, meskipun YouTube mengabaikannya karena situs video tersebut dianggap mendidik.
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengatakan: "Ada hubungan kausal yang jelas antara maraknya media sosial dan bahaya terhadap kesehatan mental anak muda Australia."
2. Inggris
Legislator Inggris mengesahkan Undang-Undang Keamanan Daring pada tahun 2023. RUU penting ini mengamanatkan standar yang lebih ketat untuk platform media sosial, termasuk dalam hal pembatasan usia.
Sementara itu, para pembuat kebijakan telah menyerukan tindakan keras terhadap penggunaan media sosial oleh remaja.
Menteri Negara untuk Sains, Inovasi, dan Teknologi Peter Kyle mengklaim bahwa larangan tersebut untuk melindungi kaum muda dari dampak buruk media sosial.
3. Norwegia
Pada tahun 2024, Norwegia juga mengumumkan niatnya untuk menaikkan batasan usia media sosial yang ada dari 13 menjadi 15 tahun.
Negara tersebut mengakui bahwa hal itu akan menjadi perjuangan berat bagi Perdana Menteri Jonas Gahr Støre yang meminta politisi untuk melindungi anak muda dari sejumlah platform media sosial.
Berdasarkan keterangan dari pemerintah pusat Norwegia, penelitian menemukan bahwa 58 persen anak berusia 10 tahun dan 72 persen anak berusia 11 tahun menggunakan media sosial.
Pemerintah berencana untuk memperkenalkan langkah-langkah lain guna memastikan larangan barunya berjalan lebih baik. Salah satu solusi yang mungkin telah diusulkan adalah persyaratan rekening bank sebagai bentuk verifikasi.
4. Prancis
Pada tahun 2023, pemerintah Prancis memperkenalkan undang-undang yang melarang anak di bawah 15 tahun mengakses layanan daring tanpa izin orang tua.
Sementara peraturan data Uni Eropa (UE) menetapkan bahwa remaja harus berusia 16 tahun untuk menyetujui pemrosesan data mereka, masing-masing negara anggota dapat menurunkan batas usia jika mereka anggap tepat.
Seperti yang dilaporkan oleh Euro News, Presiden Emmanuel Macron sejak itu meminta Eropa untuk menstandardisasi usia 15 tahun untuk mengakses media sosial.
5. Jerman
Remaja Jerman berusia 16 tahun ke bawah saat ini memerlukan izin orang tua mereka untuk menggunakan media sosial.
Meskipun peraturan yang berlaku cukup sederhana, perlu dicatat bahwa penggunaan media sosial di Jerman relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.
Temuan dari Pew Research Center menggambarkan bahwa 79 persen orang di bawah usia 40 tahun menggunakan media sosial. Sebaliknya, media sosial digunakan oleh 90 persen orang di bawah usia 40 tahun di Prancis.
Advertisement