Liputan6.com, Jakarta - 2 hari sudah F memilih tinggal di rumahnya di kawasan Kampung Beting Remaja, Tugu, Koja, Jakarta Utara, di saat teman sepantarannya bersekolah. Bocah kelas 2 Sekolah Dasar (SD) ini masih trauma sejak diusir oleh guru sekaligus wali kelasnya di SDN 20 Tugu Utara.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Kamis (19/11/2015), peristiwa itu terjadi pada Senin 16 November 2015. Saat itu, F sedang mengikuti pelajaran seperti biasa.
F tidak kunjung bisa menulis tegak bersambung atau latin. F diduga mengalami gangguan motorik halus. Namun, bukannya memahami kesulitan siswanya, guru F malah mengusirnya keluar kelas. Pengusiran itu membuat bocah ini ketakutan hingga tak mau sekolah.
Advertisement
"Enggak bisa nulis latin disuruh pulang. Jadi maksudnya ini gurunya mungkin pengennya instan mungkin. Pengennya semua anaknya pinter semua. Ini F emang ketemu gurunya emang udah enggak mau," ungkap ibu F, Supinah.
Tak ingin anaknya tertinggal bahkan putus sekolah, Supinah dan suaminya Karnadi, mendatangi sekolah untuk menanyakan pengusiran itu.
Sang guru tegas-tegas membantah telah mengusir F dan mengklaim membujuk bocah itu untuk tetap belajar dan tidak pulang.
"Pada saat itu tidak saya usir, tapi saya tanyakan kenapa tidak mau menulis. Dari jam pertama sampai jam kedua, sampai jam 14.30 WIB saya tanya lagi. Kalau cuma begitu kenapa enggak mau nulis. Enggak mau, saya (F) enggak mau nulis, saya mau pulang aja. Saya mau pulang aja bu guru," ucap guru atau wali kelas F, Uci A.
Menghadapi siswa yang beragam kemampuannya memang menuntut seorang pendidik untuk pandai-pandai melakukan pendekatan. Salah sedikit saja, bisa jadi justru tidak memberikan hasil yang diinginkan.
Apalagi anak-anak cenderung sangat sensitif dengan kata-kata dan gerak tubuh yang dirasakan, diarahkan, atau pun menyerang pribadinya lemah lembut. Tetapi asertif boleh jadi menjadi cara yang pas meski kesabaran hingga anak akhirnya menguasai apa yang diajarkan. (Vra/Bob)