Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengkaji rencana untuk tidak menjual bahan bakar minyak (BBM) subsidi pada hari libur dan akhir pekan. Ide yang dicetuskan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik itu bertujuan untuk menekan membengkaknya subsidi BBM.
Namun menurut Pengamat Perminyakan Kurtubi, kebijakan yang diambil pemerintah itu tidak akan menyelesaikan masalah subsidi BBM. Akar masalah dari membengkaknya subsidi BBM adalah lebih tingginya biaya produksi ketimbang harga jual.
"Inti dari masalah BBM adalah harga. Jadi kalau mau selesaikan masalah ini, satu-satunya jurus paling ampuh ya naikkan harga," kata Kurtubi saat berbincang dengan Liputan6.com, Jumat (23/5/2014).
Menaikkan harga BBM subsidi bukanlah perkara mudah karena dibutuhkan keberanian dari pemerintah. Kurtubi menilai saat ini merupakan saat yang tepat bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menaikkan harga karena sebentar lagi masa tugasnya berakhir. Tak hanya itu, SBY juga tidak mencalonkan lagi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden yang bakal digelar pada 9 Juli mendatang.
"Jadi tidak ada risiko politik yang harus ditanggung SBY," ungkapnya.
Advertisement
Idealnya, imbuh Kurtubi, harga BBM subsidi naik Rp 1.000-Rp 1.500 per liter. Tapi, dia mengingatkan kenaikan harga BBM subsidi tersebut harus disertai dengan pembangunan infrastruktur gas seperti stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) dan juga pemberian konverter kit secara gratis.
"Masyarakan bisa pakai BBG yang harganya lebih murah dari BBM. Gas ini kan juga ramah lingkungan dan pemerintah tidak perlu impor untuk mendapatkannya," tutur Pria Berkacamata itu.
Senada dengan Kurtubi, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga berpendapat kenaikan harga merupakan opsi terbaik untuk menekan dana subsidi BBM.
"Tapi itu soal nyali politik dari Presiden. Harusnya Presiden SBY berani karena tidak akan mencalonkan lagi," ujarnya. (Ndw)