Liputan6.com, Jakarta - Setelah puluhan tahun menganut paham pengelolaan sumber daya alam yang bebas, pemerintah akhirnya sadar. Negara ini akan rugi besar bila pengerukan sumber daya alam tak dibarengi dengan pengolahan di dalam negeri.
Alhasil, pemerintah memutuskan untuk menerapkan larangan ekspor mineral mentah yang mulai berlaku pada 12 Januari 2014.
Bagi perusahaan yang ingin tetap bisa ekspor, harus membuat jaminan pembangunan smelter yang dibuktikan dengan pemberian sejumlah uang. Sebagai penguat, aturan ini dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Advertisement
Sontak, aturan ini menuai pro dan kontra. Tak hanya perusahaan tambang kecil yang kena getahnya, perusahan besar ikut menjadi korban. Ini mulai terlihat di pertengahan tahun.
Adalah perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) yang kemudian mengumumkan dalam keadaan kahar (force majeure). Aturan larangan ekspor disebut sebagai biang keladinya.
Memang, sejak aturan pelarangan ekspor berlaku, perusahaan ini menjadi goyang. Selama ini, Newmont beserta Freeport menjadi tambang mineral terbesar di Indonesia. Freeport dan Newmont, memiliki 97 persen produksi tembaga Indonesia.
Kegoyahan Newmont terlihat dengan adanya pemberhentian 90 persen kontraktor di tambang Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sekitar 80 persen dari 4.000 karyawan di Batu Hijau ditempatkan dalam status stand-by dengan pemotongan gaji mulai 6 Juni 2014.
Presiden Direktur PTNNT Martiono Hadianto mengatakan perusahaan menyatakan keadaan kahar sesuai Kontrak Karya. Kebijakan larangan ekspor telah membuat perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan produksi.
"Untuk meminimalkan biaya pengeluaran dan menjaga kemampuan serta kesiapan perusahaan untuk kembali beroperasi, sekitar 80 persen dari 4.000 karyawan di Batu Hijau akan ditempatkan dalam status stand-by," terang dia.
Seiring penghentian operasi ini, PT NNT berupaya merayu pemerintah dan mencari jalan keluar atas masalah ekspor ini. Secara khusus, Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoran Copper & Gold Inc Richard C Adkerson dan CEO Newmont Mining Corporation Gary J. Goldberg menghadap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung (CT) guna membicarakan masalah ini.
Tampaknya itu sia-sia belaka. Pemerintah teguh dengan pendiriannya. Kran ekspor baru dibuka bila Newmont bersedia menyatakan komitmen membangun smelter.
Gugat RI ke Arbitrase
Entah karena putus asa atau kesal dengan pemerintah Indonesia usai permintaan izin mineral mentahnya tak digubris, Direksi Newmont Nusa Tenggara dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership BV (NTPBV), suatu badan usaha yang terdaftar di Belanda, mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap Pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor yang diterapkan di Tanah Air.
Presiden Direktur NNT Martiono Hadianto, beralasan kebijakan yang diambil pemerintah tersebut telah mengakibatkan dihentikannya kegiatan produksi di tambang Batu Hijau dan menimbulkan kesulitan dan kerugian ekonomi terhadap para karyawan PTNNT, kontraktor, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Aturan ini disebut tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) dan perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Belanda.
Dalam gugatan arbitrase yang diajukan kepada the International Center for the Settlement of Investment Disputes, NNT dan NTPBV menyatakan maksudnya untuk memperoleh putusan sela yang mengizinkan PTNNT untuk dapat melakukan ekspor konsentrat tembaga agar kegiatan tambang Batu Hijau dapat dioperasikan kembali.
“Meski kami telah melakukan berbagai upaya terbaik selama enam bulan terakhir untuk menyelesaikan isu ekspor melalui komitmen atas dasar niat baik untuk mendukung kebijakan Pemerintah, PTNNT belum dapat meyakinkan Pemerintah bahwa KK berfungsi sebagai rujukan dalam menyelesaikan perbedaan yang ada,” ujar Martiono di awal Juli.
Hal ini pun membuat pemerintah berang. Sejumlah pejabat bahkan seakan mengancam Newmont jika tak segera mencabut gugatan, maka kontrak kerja dengan Newmont akan benar-benar berakhir. Dengan tegas, pemerintah memastikan tak mau berunding dengan Newmont.
"Mereka ingin berunding tetapi berunding dengan tidak mengenyampingkan hak mereka, untuk memproses gugatan mereka di abritase, itu sama aja bohong," kata Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Chairul Tanjung.
Duta Besar Amerika Serikat (AS), Robert Blake, pun ikut campur berusaha menjadi penengah antara pemerintah dengan Newmont.
Sebagai langkah antisipasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya mengeluarkan keppres pembentukan tim yang khusus menangani gugatan Newmont itu.
Advertisement
Usai Kran Ekspor Dibuka, Newmont Gugat Kembali
Seusai saling menggertak, Newmont Nusa Tenggara dan pemerintah akhirnya melunak dan mau menggelar perundingan. Keduanya kemudian menyepakati beberapa hal. Ini terjadi usai perusahaan sepakat mencabut gugatan arbitrase kepada pemerintah Indonesia.
Poin yang menjadi persetujuan antara lain, perusahaan berbasis di Colorado ini setuju untuk membayar bea keluar dengan tarif sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang dikeluarkan pada Juli 2014.
Newmont bahkan bersedia menyediakan dana jaminan keseriusan senilai US$ 25 juta sebagai bentuk dukungan terhadap pembangunan smelter, dan membayar royalti 4,0 persen untuk tembaga, 3,75 persen untuk emas, dan 3,25 persen untuk perak, serta membayar iuran tetap (deadrent) US$ 2 per hektar.
Keran ekspor pun dibuka. Newmont mendapat izin untuk melakukan ekspor konsentrat karena telah melakukan renegosiasi kontrak dengan pemerintah.
Perusahaan ini kemudian untuk pertama kalinya konsentrat tembaga sebanyak 27 ribu ton ke Jepang dan Korea usai pencabutan gugatan.
Direktur Jenderal Mineral Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), R. Sukyar mengatakan, ekspor tersebut dilakukan oleh Newmont untuk pertama kalinya sejak pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor mineral mentah yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Pembukaan kran ekspor mendorong saham Newmont kembali naik dia persen di bursa New York. Sepanjang tahun ini, saham-saham Newmont telah meningkat hingga 15 persen.
Namun kembali lagi, Newmont berulah. Setelah mencabut tuntutan arbitrase, pihak PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) kembali mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Oktober 2014.
Ini dilakukan salah satu pemegang saham PT NTT dari PT Pukuafu Indah, Dr Nunik Elizabeth Merukh, terkait dengan diberlakukannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (Minerba).
Direktur PT Pukuafu itu menggugat pasal 169 tentang perubahan kontrak karya menjadi IUP PK, dan pasal 170 tentang kewajiban melakukan pemurnian sebagaimana yang telah dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya undang-undang Minerba disahkan.
Kembali lagi, pemerintah geram mendengarnya. Bak Air Susu Dibalas Air Tuba. Pemerintah mengancam akan menghentikan amandemen kontrak Newmont yang saat ini sedang dalam proses kesepakatan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian (ESDM) R Sukhyar meminta gugatan tersebut harus segera dicabut. Pasalnya saat ini pihak Newmont sedang dalam proses amandemen kontrak dan hal tersebut bisa dihentikan jika ada gugatan yang diajukan.
"Saya minta PT NNT mencabut gugatan. Kita hold amandemen kalau tidak dicabut," kata Sukhyar di awal November. (Nrm/Igw)