Ini Dia 7 Produk yang Paling Banyak Dipalsukan

Pemalsuan ini bukan saja berpeluang mematikan bisnis pelaku usaha, tapi juga merugikan negara.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 25 Feb 2015, 11:11 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2015, 11:11 WIB
Simak 7 Produk yang Paling Banyak Dipalsukan
Pemalsuan ini bukan saja berpeluang mematikan bisnis pelaku usaha, tapi juga merugikan negara.
Liputan6.com, Jakarta - Peredaran produk palsu kian mengkhawatirkan. Kondisi ini bukan saja berpeluang mematikan bisnis pelaku usaha, tapi juga merugikan negara.
 
Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) mencatat ada 7 komoditas yang produknya marak dipalsukan sepanjang periode 2014. Paling banyak pemalsuan menyasar produk tinta printer seiring peningkatan jumlah permintaan.
 
Hasil studi ini disampaikan Sekretaris Jenderal MIAP, Justisiari P Kusumah dalam sebuah laporan Dampak Pemalsuan terhadap Perekonomian Indonesia 2014 bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. MIAP adalah organisasi yang terdiri dan dibentuk oleh pemilik Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia. 
 
"‎Terdapat 7 komoditas yang produknya banyak dipalsukan, antara lain, software atau perangkat lunak komputer, kosmetik, farmasi atau obat-obatan, pakaian, barang dari kulit (tas, sepatu dan lainnya), makanan dan minuman serta tinta printer," ujar Justisiari saat ditemui wartawan di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Rabu (25/2/2015). 
 
Mencengangkannya lagi, dia menjelaskan, hasil survei menunjukkan prosentase produk palsu tinta printer berada di urutan teratas dari 7 komoditas tersebut. Produk palsu yang beredar luas di pasar untuk tinta printer mencapai 49,4 persen, pakaian palsu 38,90 persen dan disusul barang dari kulit dengan prosentase 37,20 persen. 
 
Lanjutnya, sedangkan produk palsu software sebesar 33,50 persen, sisanya produk kosmetika palsu 12,60 persen, makanan dan minuman abal-abal 8,50 persen dan produk farmasi palsu 3,80 persen.
 
"Obyek studi MIAP dan FEUI pada riset tahun ini berkembang, bukan hanya pada konsumen akhir, tapi juga dilakukan terhadap konsumen perantara seperti para penjual atau pedagang ritel," ucap Justisiari. 
 
Dia menambahkan, kedua rantai konsumsi ini dianggap menjadi hal yang tak bisa dilepaskan, mengingat pembelian dan penggunaan barang-barang palsu tidak akan mara apabila suplai barang tersebut nihil di pasaran. (Fik/Nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya