Punya Banyak Orang Pintar Tapi RI Kalah dari India

India cukup sukses mempertahankan pertumbuhan ekonomi di level 7 persen di tengah perlambatan ekonomi dunia.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 15 Jul 2015, 06:01 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2015, 06:01 WIB
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi 2
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

Liputan6.com, Jakarta - Sama-sama mempunyai basis penduduk besar, namun India selangkah lebih maju dalam memperbaiki kondisi perekonomiannya dibanding Indonesia. Negeri Bollywood itu mampu mendulang pertumbuhan ekonomi 7 persen karena berhasil menjalankan reformasi struktural.

Kepala Ekonom Bank Danamon, Anton Hendranata saat Buka Puasa Bersama dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional,‎ mengatakan, India cukup sukses mempertahankan pertumbuhan ekonomi di level 7 persen di tengah perlambatan ekonomi dunia.

"India sukses mengakselerasi perekonomiannya dan mengatasi defisit transaksi berjalan sehingga turun dengan cepat. Karena ada reformasi struktural," kata dia di kantor Kementerian PPN, Jakarta, Selasa (14/7/2015)‎ malam.

Sementara Indonesia, dinilai Anton, dipenuhi strategi maupun langkah atau ide bagus untuk memacu pertumbuhan ekonomi, hanya saja miskin implementasi.

"Ide kita banyak dan bagus, banyak orang pintar di sini, ‎bukan orang-orang bodoh. Tapi miskin implementasi. Pak Joko Widodo (Jokowi) minta A tapi ke bawahnya lain," sindirnya.

Dia mencontohkan, saat pemerintah membuat kebijakan pembangunan smelter tapi melupakan kebutuhan listrik, sehingga pabrik pengolahan dan pemurnian sulit terlaksana. Di samping itu, pemerintah sedang gencar menarik investor asing, namun birokrasi semakin susah.

"Ini masalahnya, pertumbuhan ekonomi dengan target 7 persen itu bukan mimpi buat Indonesia, karena kita punya masyarakat kelas menengah cukup banyak dan kaya sumber daya alam. Tinggal dikelola dengan baik saja," papar Anton.

Dia berpendapat, target pertumbuhan ekonomi tahun ini sulit tercapai di atas 5 persen. Proyeksi ini merujuk pada pencapaian ekonomi di kuartal I 2015 yang bertumbuh 4,7 persen dan perkiraannya 4,8 persen pada kuartal II ini.

Alasannya, kata Anton, indeks kepercayaan konsumen masih menurun, impor yang biasanya di puasa dan Lebaran naik signifikan tapi faktanya tidak begitu.

"Pengeluaran pemerintah di semester I pun belum maksimal, dan sebenarnya pasar mengerti bahwa ada perubahan nomenklatur di Kementerian/Lembaga. Tapi bagi Kementerian yang tidak mengalami perubahan nomenklatur pun ternyata penyerapan anggarannya jelek. Jadi ini dianggap investor ada yang salah, mereka menganggap pemerintah Indonesia enggak kredibel‎," tegas Anton. (Fik/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya