Liputan6.com, Jakarta - Perekonomian China diperkirakan bisa anjlok ke level di bawah 7 persen. Jika kondisi itu terjadi, maka berdampak besar terhadap ekspor Indonesia sebagai mitra dagang utama China. Inilah yang dikhawatirkan pemerintah Indonesia.
Kepala Ekonom PT Bank Danamon Tbk, Anton Hendranata meramalkan pertumbuhan ekonomi China berpotensi lebih rendah di tengah ketidakpastian perekonomian dunia saat ini.
"Bisa saja turun ke 6,8 persen, karena mereka semakin sulit menjual barang ketika ekonomi global belum terlalu bagus. Jadi susah buat China memacu pertumbuhan ekonominya lagi, kecuali ada permintaan domestik di sana besar," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Selasa (21/7/2015).
Jika hal itu terjadi, ditegaskan Anton, memicu ketakutan dari pemerintah Indonesia. Permintaan ekspor dari China, sambungnya, akan menurun drastis sehingga sulit bagi negara ini mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Ketakutannya kalau ekonomi China terlalu lambat dari perkiraan atau di bawah 7 persen, mengarah ke 6 persen. Ekspor kita makin sulit mengingat permintaan China selama ini besar ke Indonesia," terangnya.
Anton pesimistis ada 'obat manjur' agar perekonomian Indonesia kembali bangkit dalam jangka pendek. Pasalnya, Indonesia sedang dihadapkan pada berbagai masalah eksternal maupun internal.
Persoalan eksternal, kata dia, menyangkut ancaman kenaikan suku bunga The Federal Reserve, perlambatan ekonomi China dan krisis di Eropa. Sementara dari internal, Indonesia masih mengalami tekanan rupiah, defisit transaksi berjalan, koordinasi yang buruk antar Kementerian/Lembaga dan sebagainya.
"Untuk jangka pendek agak susah karena eksternal dan internal kita masih bermasalah. Ekonomi kita makin sulit lagi karena perekonomian China sedang anjlok, seperti perlambatan dan pasar saham yang sedang bergejolak," papar Anton.
Dia berpendapat, target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sulit tercapai di atas 5 persen. Proyeksi ini merujuk pada pencapaian ekonomi di kuartal I 2015 yang bertumbuh 4,7 persen dan perkiraannya 4,8 persen pada kuartal II ini. Alasannya, kata Anton, indeks kepercayaan konsumen masih menurun.
"Pengeluaran pemerintah di semester I pun belum maksimal, dan sebenarnya pasar mengerti bahwa ada perubahan nomenklatur di Kementerian/Lembaga. Tapi bagi Kementerian yang tidak mengalami perubahan nomenklatur pun ternyata penyerapan anggarannya jelek. Jadi ini dianggap investor ada yang salah, mereka menganggap pemerintah Indonesia enggak kredibel‎," tegas Anton. (Fik/Ndw)