Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Angkutan Darat (Organda) yang beranggotakan para pengusaha taksi mengancam akan beraksi, mulai dari demo massal sampai stop beroperasi sebagai bentuk penolakan taksi Uber di Jabodetabek. Aksi ini dijanjikan bakal lebih parah dari yang pernah terjadi di Prancis untuk kasus sama.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan mengaku semakin gerah dengan kehadiran taksi Uber di kawasan Jabodetabek sejak tahun lalu. Lantaran beroperasinya taksi Uber berdampak pada anjloknya omzet pengusaha atau operator taksi hampir 30 persen.
"Omzet pengusaha taksi turun hampir 30 persen sejak Uber hadir, apalagi di tengah kondisi perekonomian yang sulit seperti sekarang," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Minggu (26/7/2015).
Advertisement
Shafruhan mengaku penyebabnya lantaran terkena dampak dari keberadaan taksi Uber atau taksi ilegal, khususnya di Jakarta sehingga mengakibatkan penurunan jumlah penumpang.
"Di Jabodetabek ada 45 ribu lebih taksi resmi. Bayangkan saja karena Uber dan jumlah penumpang merosot, maka pendapatan puluhan ribu supir terganggu. Padahal mereka harus menghidupi keluarganya," tegas dia.
Kesal karena protes tidak digubris, Shafruhan mengancam akan bertindak tegas jika pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara tidak berani mengambil sikap dengan menutup aplikasi taksi Uber.
"Dari awal tahun kami sudah protes. Sekarang, kalau Menkominfo tidak mau ambil sikap, kami yang akan sikapi minggu depan. Karena taksi Uber sudah mengganggu supir dan operator taksi. Kalau begini, untuk apa bikin izin usaha dan investasi, lebih baik main di aplikasi saja," ketus Shafruhan.
Organda, kata dia, masih akan mengevaluasi atau memilih tindakan tegas apa yang pantas dilakukan pengusaha dan supir taksi untuk menolak keberadaan taksi Uber. Aksi tersebut diharapkan dapat menggugah hati pemerintah dan bergerak cepat menutup taksi Uber ilegal. Â
"Opsinya bisa stop beroperasi atau demo besar-besaran. Ini masih akan dievaluasi atau dipilih. Yang pasti akan lebih parah dari yang terjadi di Prancis," tegas Shafruhan. (Fik/Ahm)