Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menekan harga jual yang sudah tinggi akibat El Nino. Sebenarnya apa dampak bagi Indonesia dengan kebijakan impor beras dari pemerintah?
Direktur Statistik Bidang Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo saat dihubungi Liputan6.com, mengatakan, impor beras dimaksudkan untuk mengendalikan harga supaya kenaikannya tidak melonjak tajam.
"Paling menjaga harga beras supaya harga beras tidak naik terlalu tajam, karena November-Desember ini memang bukan puncak panen. Jadi paling menjaga inflasi beras kecil, karena tidak pernah terjadi penurunan harga beras di periode tersebut," katanya di Jakarta, Rabu (4/11/2015).
Advertisement
Data BPS menunjukkan, harga beras jenis premium, medium, dan rendah di penggilingan meningkat. Harga beras premium di tingkat penggilingan pada Oktober ini naik 0,12 persen dibanding September 2015 dari Rp 9.444,06 per kilogram (Kg) menjadi Rp 9.455,01 per kg.
Sementara beras jenis medium di bulan kesepuluh ini dijual seharga Rp 8.960,96 per kg atau naik 0,24 persen dari Rp 8.939,61 per kg pada bulan kesembilan lalu. Sementara harga beras berkualitas rendah dibanderol Rp 8.916,92 per kg atau naik 0,12 persen dari Rp 8.906,13 per kg pada September 2015.
Dampak kedua, dijelaskan Sasmito, impor beras sangat membantu pengendalian harga di tingkat petani dan para pedagang. Pasalnya harga jual beras setelah melalui siklus distribusi dari petani, grosir atau pedagang besar sampai di tingkat pedagang eceran terus mengalami kenaikan, bahkan dijadikan permainan atau penimbunan supaya harga makin mahal demi mengeruk keuntungan.
"Biasanya di tingkat tengkulak, harga jual dinaikkan cukup signifikan. Tapi kini setelah Pak Jokowi memanggil pemain utama pedagang komoditas pangan strategis, perubahan harga beras di tingkat produsen atau petani, grosir atau pedagang besar, ritel atau pedagang eceran relatif tidak berbeda signifikan lagi," ia menerangkan.
Sasmito menjelaskan, pada periode semester I 2015 dan jauh sebelum itu, kerap terjadi abnormal profit atau keuntungan yang tidak lazim di penggilingan beras, lalu pedagang besar dan pedagang eceran. Keuntungan itu, katanya, terjadi ketika petani menurunkan harga gabah, pedagang justru menaikkan harga jauh lebih tinggi dibanding perubahan harga beras di tingkat petani.
"Abnormal profit masih bisa terjadi kalau monitoring pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tidak jalan," ujar Sasmito.
Dampak lainnya dari impor beras, diakuinya, menjaga kerja sama atau komitmen bisnis antara Indonesia dengan negara sahabat ASEAN yang merupakan produsen beras, termasuk Vietnam dan Thailand. "Selain itu pada level harga beras sekarang, tetap dapat memberi stimulus ke petani untuk tetap berproduksi untuk mewujudkan ketahanan pangan di dalam negeri," tandas Sasmito. (*)