Pemerintah Jokowi Stop Pinjaman Siaga dari Asing

Pemerintah merasa puas dengan pencapaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 04 Jan 2016, 18:30 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2016, 18:30 WIB
Ilustrasi dolar AS
Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) enggan membuat komitmen pinjaman siaga (stanby loan) dari beberapa kreditur untuk tahun ini.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) enggan membuat komitmen pinjaman siaga (stanby loan) dari beberapa kreditur untuk tahun ini. Alasannya, karena pemerintah merasa puas dengan pencapaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015 dan kemampuan menerbitkan surat utang guna mencari pembiayaan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Dirjen PPR Kemenkeu), Robert Pakpahan mengaku, setiap tahun pemerintah rutin mengaktifkan pinjaman siaga yang diperoleh dari beberapa pihak.

Tahun lalu, pemerintah telah mengantongi komitmen pinjaman siaga sebesar US$ 5 miliar. Komitmen tersebut diberikan oleh Bank Dunia sebesar US$ 2 miliar, Pemerintah Australia US$ 1 miliar, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) US$ 1,5 miliar, dan Asian Development Bank (ADB) US$ 500 juta.

"Dalam beberapa tahun, kita selalu punya standby loan aktif untuk menghadapi turbulensi. Dari US$ 5 miliar pinjaman siaga yang aktif, kita tap in atau tarik pinjaman dari Bank Dunia US$ 2 miliar dan ADB US$ 500 juta karena bunganya lebih murah," ujar Robert di kantornya, Jakarta, Senin (4/12/2015).

Sementara pinjaman dari pemerintah Australia dan JBIC, diakuinya, tidak ditarik karena dianggap sudah cukup dari dua lembaga internasional tersebut. Hingga akhir 2015, seluruh komitmen pinjaman siaga tersebut masuk expiry date (kadaluarsa) dan pemerintah enggan mengaktifkan kembali karena beberapa alasan.

"Pemerintah Indonesia tidak ada niat sementara ini membuat atau memperpanjang pinjaman siaga baru lagi untuk berjaga-jaga karena baik dari segi penerimaan dan kredibilitas kita dalam mencari utang sudah bisa lebih independen," jelas Robert.

Itu artinya, kata Robert, pemerintah Indonesia percaya diri dapat mencari atau menambah utangan seperti menerbitkan surat utang kapan saja mengingat data-data ekonomi makro Negara ini mengalami perbaikan dan masih dipandang bagus oleh investor.

Lanjutnya, basis investor surat utang Indonesia semakin meluas, termasuk dari penanam modal domestik, misalnya investor di reksadana dan asuransi mulai menambah portofolio investasinya pada kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN).

"Volume penerimaan kita makin besar, rasio utang pemerintah terhadap PDB baru 27 persen, sistem lelang domestik dan penerbitan SUN valas reguler sudah dikenal dan dipercaya banyak investor. Jadi kami putuskan tidak buat stanby loan baru," tegas Robert.

Sikap optimistis tersebut, sambungnya, juga diperkuat dengan pengalaman pemerintah Indonesia untuk mencari dan menerbitkan surat utang saat guncangan perekonomian hebat melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sejak 2013, peekonomian dunia bergejolak saat penghentian stimulus dari Bank Sentral AS, lalu turbulensi berlanjut ketika isu kenaikan Fed Fund Rate di 2015.

"Kami sempat kesulitan menerbitkan surat utang valas, lelang surat utang. Tapi pemerintah cukup kredibel sehingga hal itu bisa teratasi. Penerimaan pajak ke depan yang diperkirakan lebih baik, tidak usah utang banyak-banyak walaupun kerjasama multilateral dan bilateral tetap ada," tandas Robert. (Fik/Gdn)


**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya