Bank Sentral China Gelontorkan Dana US$ 20 Miliar

Bank sentral China menyuntikkan dana hampir sekitar US$ 20 miliar untuk menenangkan pasar.

oleh Agustina Melani diperbarui 05 Jan 2016, 17:24 WIB
Diterbitkan 05 Jan 2016, 17:24 WIB
20151130-Mata-Uang-Yuan-AY
Seorang teller menunjukan mata uang Yuan di Jakarta, Senin (30/11). Dana Moneter Internasional (IMF), Senin (30/11), resmi memasukan yuan, atau renminbi, ke dalam special drawing rights (SDR) sebagai mata uang elite dunia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bank sentral China menggelontorkan dana terbesar sejak September 2015. Langkah itu dilakukan untuk membantu menenangkan bursa saham setelah turun tajam pada awal pekan ini. Penurunan bursa saham China pun berdampak ke bursa saham global.

Bank sentral China atau the People's Bank of China (POBC) menyuntikkan dana sekitar 130 miliar yuan atau hampir US$ 20 miliar atau sekitar Rp 276,85 triliun  (asumsi kurs Rp 13.842 per dolar Amerika Serikat). Keputusan bank sentral China tersebut juga tidak memperpanjang batas kredit. Ini juga memicu kekhawatiran investor kalau bank sentral ingin memperketat kebijakan.

"Tak biasanya bank sentral China melakukan suntikan repo hanya dengan alasan musiman. Ini tampaknya sedikit lebih awal untuk melakukan itu karena Tahun Baru China masih beberapa minggu lalu. Mungkin ada unsur kondisi likuiditas sedikit berkurang setelah bursa saham jatuh kemarin," kata Julian Evans-Pritchard Ekonom Capital Economics seperti dikutip dari laman CNBC, Selasa (5/1/2016).

Langkah bank sentral China tersebut juga diduga sebagai intervensi untuk mendukung renminbi atau yuan. Mata uang yuan mengalami pelemahan tajam terhadap dolar AS sejak 2011.  Dolar AS ke level 6,5 yuan. Bank sentral China memungkinkan yuan dapat jatuh maksimal dua persen terhadap dolar AS.

Keputusan bank sentral China itu juga mendorong yuan ke pasar sehingga berkaitan dengan modal keluar dari China. Pada kuartal III, jumlah dana arus keluar dari China mencapai rekor US$ 221 miliar. Hal itu berdasarkan data dari Societe Generale.

"Ini akan terus menekan renminbi atau yuan. Karena bank sentral China tampaknya menargetkan depresiasi mata uang, dan itu harus membeli renminbi di pasar sehingga efektif untuk mengetatkan likuiditas," tulis Societe Generale.

Bursa saham China pun masih bergerak fluktuaktif pada Selasa pekan ini. Hal itu diikuti aksi jual tajam di awal pekan ini. Indeks saham Shanghai turun 8,55 poin atau 0,26 persen ke level 3.287,7. Indeks saham Shanghai sempat naik 0,95 persen dan turun 3,2 persen di awal sesi.

Sedangkan indeks saham Shenzhen ditutup melemah 39,38 poin atau 1,86 persen ke level 2.079,77. Indeks saham Hong Kong Hang Seng melemah 0,56 persen.

Pada perdagangan saham Senin pekan ini, saham China anjlok setelah data manufaktur melemah sehingga menghidupkan kembali kekhawatiran atas perlambatan ekonomi. Indeks saham China turun 7 persen. Indeks saham Shanghai turun 6,8 persen dan indeks saham Shenzhen anjlok 8,1 persen.

Ekonom China Masih Hantui Ekonomi Global

Ekonom IMF, Maurice Obstfeld memperingatkan kalau China dapat sekali lagi "menakuti" pasar keuangan global pada 2016.

"Perlambatan ekonomi China telah jauh lebih besar dari pada yang kita bisa antisipasi. Ini mempengaruhi ekonomi global melalui pengurangan impor dan melemahnya permintaan untuk komoditas," kata dia.

Ia menuturkan, pasar saham dan nilai tukar mata uang berisiko karena sentimen China. Situasi perkembangan ekonomi China menjadi isu utama.

"Pertumbuhan di bawah target resmi pemerintah dapat menakuti pasar keuangan global. Tantangan serius untuk restrukturisasi terutama neraca perusahaan milik negara, pasar keuangan, dan rasionalitas alokasi sumber daya," kata dia.

Selain itu, pasar negara berkembang juga akan menjadi "perhatian" pada 2016.  Harga  komoditas termasuk energi akan menyebabkan lebih banyak masalah bagi eksportir termasuk depresiasi mata uang yang lebih tajam.

"Dengan risiko yang muncul pasar naik itu akan menjadi penting bagi bank sentral AS untuk mengelola kenaikan suku bunga setelah mengangkat suku bunga acuan pada Desember untuk pertama kalinya sejak 2006," kata Obstfeld. (Ahm/Igw)

 

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya