Liputan6.com, Jakarta - Dilema antara mementingkan pertumbuhan ekonomi atau menjaga stabilitas rupiah diprediksi masih akan menyelimuti pemerintah dan Bank Indonesia (BI) di tahun ini.
Kepala Ekonom PT Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih mengatakan, pelambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan rupiah cukup membuat pemerintah dan BI memutar otak sepanjang 2015.
Pemerintah dan BI kemudian memilih untuk lebih dulu menstabilkan nilai tukar rupiah. "Yang lebih urgent tentu menstabilisasi rupiah dibanding pertumbuhan ekonomi karena pergerakan rupiah lebih cepat. Kalau pertumbuhan ekonomi kan time frame-nya lebih lama. Jadi rupiah perlu diamankan lebih dulu," terang Lana saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (15/1/2016).
Baca Juga
Baca Juga
Alasannya, jika nilai tukar rupiah stabil akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.Ini yang membuat BI sengaja fokus pada stabilitas rupiah dibanding pertumbuhan atau sengaja mendesain perlambatan dengan kukuh mempertahankan tingkat suku bunga acuan (BI Rate). Bahkan BI sempat menaikkan BI Rate hingga ke posisi 7,75 persen. Â
"Memang ada konflik, kalau rupiah mau stabil, BI harus naikkan BI Rate, tapi kalau pertumbuhan ekonomi mau tinggi, BI Rate harus turun. Penguatan rupiah juga harus ditopang sentimen positif dari dalam negeri," jelasnya.
Lana memperkirakan, konflik antara pertumbuhan ekonomi dan rupiah ini masih akan terjadi di tahun ini. Di mana, pertumbuhan ekonomi dijembatani oleh BI Rate.
Advertisement
Tingkat suku bunga acuan yang tinggi akan mengakibatkan penyaluran kredit mandek. Namun BI Rate yang tinggi dapat menahan dana asing kabur dari Indonesia karena imbal hasil yang ditawarkan menarik. Â
"Jadi konfliknya di situ. Setidaknya di semester I-2016, tapi harapannya ada perbaikan di semester II ini," ucap Lana.(Fik/Nrm)