Liputan6.com, Jakarta Di tengah anjloknya harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar global, pemerintah diminta untuk menurunkan besaran pungutan ekspor CPO. Pungutan itu selama ini dilakukan Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) Sawit.
Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan, permintaan tersebut salah satunya datang dari Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). Namun Saleh tidak mengungkapkan besaran penurunan pungutan yang diminta oleh para pelaku industri tersebut.
"Ada yang minta, dalam keadaan lagi turun (harga CPO), ditinjau yang dipungut itu, mungkin bisa dikurangi. Mungkin untuk sektor hulunya," ujar dia di kantor Kementeian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (25/1/2016).
Advertisement
Baca Juga
Selain penurunan besaran pungutan CPO, pelaku industri kelapa sawit juga meminta pemerintah menghilangkan pungutan ekspor cangkang sawit (palm kernel shells). Seebelumnya, cangkang sawit tersebut dianggap sebagai limbah. Namun dalam beberapa tahun terakhir, cangkang sawit ini rupanya masih bisa diolah menjadi bahan bakar pengganti barubara, bahkan dinilai jauh lebih ramah lingkungan.
"Misalnya buangan limbah (cangkang sawit) itu tidak perlu dikenakan biaya atau dipungut. Jadi limbah itu kan bisa diolah, diekspor. Itu tidak dipungut," katanya.
Sementara itu, terkait dengan program mandatori pencampuran CPO sebesar 20 persen dalam biodiesel (B20), Saleh memastikan program tersebut akan dijalankan pada tahun ini meski program B15 sebelumnya tidak berjalan maksimal.
Dalam hal ini, industri otomotif yang tergabung dalam Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) telah mendukung berjalannya program mandatori ini dengan menyesuaikan sistem mesin kendaraan khususnya kendaraan berat seperti truk.
"B20 tetap jalan. Kita bicara dengan Gaikindo itu bisa dan layak digunakan. Tapi pengguna-pengguna mungkin takut menganggu kendaraan besar, tapi produsen tidak masalah," tandasnya