Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyatakan rendahnya minat investasi perusahaan asing maupun dalam negeri terhadap industri makanan dan minuman (mamin) di Indonesia. Sepanjang periode Januari-Maret 2016 ini, minat penanaman modal di industri mamin Tanah Air menunjukkan angka negatif.
Ketua Umum GAPMMI, Adhi S Lukman membeberkan data realisasi investasi pada industri mamin di kuartal I tahun ini. Sambungnya, minat investasi yang ditandai dengan permohonan izin prinsip negatif 4 persen di kuartal I 2016 dibanding periode yang sama sebelumnya.
"Sedangkan izin prinsip di industri minuman saja minus 71 persen di periode tersebut. Jadi rata-rata minusnya 14 persen. Ini bocoran data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jadi negatif semua," tegasnya di Jakarta, seperti ditulis Rabu (13/4/2016).
Baca Juga
Kata Adhi, pihaknya juga memperoleh data perbankan dan riteler yang menunjukkan pertumbuhan fast moving consumer goods (FMCG) di industri -1,4 persen sampai -2,5 persen. Menurutnya, ini kategori berbahaya.
"Ini bahaya, jangan sampai terjadi. Minat investasinya saja sudah negatif," ucapnya.
Lebih lanjut diakuinya, izin prinsip investasi industri makanan dan minuman yang tercatat di BKPM pada tahun lalu sebesar Rp 184 triliun. Namun realisasi investasinya hanya Rp 84 triliun. Penyebabnya, karena investor wait and see terhadap kebijakan pemerintah Indonesia.
"Setelah dicek ternyata akibat kebijakan yang tidak jelas dari pemerintah, sehingga investor menunda realisasi investasi," paparnya.
Salah satu kebijakan pemerintah yang akan membebani industri mamin termasuk konsumen, adalah cukai kemasan plastik pada botol minuman. Jika nanti dieksekusi pada tahun ini, diperkirakan Adhi, industri mamin dalam negeri akan kalah bersaing dengan negara-negara tetangga.
"Mamin itu hak asasi bagi masyarakat, kalau diganggu dengan cukai bisa menjadi beban lagi buat rakyat. Jadi pemerintah dimohon balik ke hati nurani, ditinjau kembali cukai itu, karena jangan sampai backfire dan negara yang dirugikan. Kan masih banyak cara lainnya," harap Adhi. (Fik/Gdn)