Kronologi Kasus Pemotongan 6 Juta Ayam yang Diperkarakan KPPU

KPPU mendakwa PT Japfa Comfeed Indonesia karena kasus kartel ayam

oleh Septian Deny diperbarui 18 Mei 2016, 17:26 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2016, 17:26 WIB
20160503-Pasar- Inflasi Masih Terkendali Hingga Juni-Jakarta-Angga Yuniar
Pedagang ayam menunggu pembeli di salah satu pasar di Jakarta, Selasa (3/5). BPS mengatakan laju inflasi nasional akan tetap terkendali dan rendah hingga memasuki periode puasa Ramadhan pada Juni 2016.. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - PT Japfa Comfeed Indonesia menjadi salah satu perusahaan pembibitan unggas yang didakwa oleh Komisi Pengawas Pesaingan Usaha (KPPU) telah melakukan praktik kartel. Hal ini lantaran perusahaan tersebut terlibat dalam kesepakatan apkir (pemotongan) dini induk ayam (parent stock) sebanyak 6 juta ekor pada tahun lalu.

Namun Kuasa Hukum PT Japfa Comfeed Indonesia Rikrik Rizkiyana memiliki pendapat berbeda terkait dakwaan ini. Menurut dia, hal ini bermula sejak 2013 lalu di mana kegiatan investasi dan ekspansi bisnis para pembibit tumbuh pesat. Namun hal tersebut tidak diiringi dengan pertumbuhan konsumsi ayam dan daya beli masyarakat.

Hal ini menyebabkan ketersediaan induk ayam dan bibit indukan ayam (grandparent stock) menjadi berlebihan di kandang-kandang pembibitan. "Sehingga pada 2014 pasar mengalami kelebihan pasokan DOC (day old chicken/bibit ayam) sebesar 17 juta ekor per minggu atau 6,8 juta parent stock," ujar dia di Jakarta, Rabu (18/5/2016).

Kelebihan pasokan ini, lanjut Rikrik, berdampak pada harga ayam hidup di tingkat peternak menjadi anjlok jauh di bawah harga produksinya. Pada saat itu, harga ayam hidup jatuh hingga menyentuh harga Rp 12 ribu per kg.

Bahkan di beberapa kota harganya terperosok hingga Rp 8.000 per kg. Padahal, kata Rikrik, biaya produksi ayam adalah sekitar Rp 15 ribu-Rp 16 ribu per kg, belum ditambah dengan biaya operasional Rp 1.500-Rp 2.000 per kg. Dengan demikian, perk kilogramnya setiap peternak harus menanggung kerugian lebih dari Rp 4.000 per kg, atau sekitar 20 persen dari modal usaha.

"Anjloknya harga ayam hidup yang disebabkan oversupply menyebabkan harga jual tidak dapat lagi menutup biaya produksinya. Ini menjadi pukulan hebat bagi banyak peternak rakyat yang tidak sanggup menanggung kerugian terus menerus, sehingga banyak yang bangkrut," jelas dia.

Untuk mengatasi hal tersebut, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian mengambil tindakan dengan membentuk Tim Ad Hoc untuk menghitung kelebihan pasokan DOC mencari solusi komprehensif untuk permasalahan kelebihan pasokan anjloknya ayam di tingkat peternak.

"Tim ini menyimpulkan, solusi permasalahan kelebihan masih melakukan pemotongan (pengapkiran) dini parent stock pada usia 55 minggu. Usia ini merupakan induk ayam dalam masa produktif," kata dia.

Kemudian pada kuartal IV 2015, Ditjen PKH membuat kebijakan berupa instruksi pengapkiran 6 juta ekor parent stock di seluruh Indonesia. Instruksi ini tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal PKH nomor 15043/FK.010/F/10/2015 perihal Penyesuaian Populasi Parent Stock yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015.

"Dalam hal ini kedudukan para pelaku usaha pembibitan hanyalah sebagai pihak yang melaksanakan instruksi dari kebijakan pemerintah tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan apkir dini ini sudah tindakan untuk menaati dan menjalankan kebijakan pemerintah melalui instruksi Dirjen PKH Kementerian Pertanian," ungkap dia.

Hingga akhirnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memerintahkan apkir dini ini dihentikan dan memperkarakannya lantaran dinilai tidak memiliki landasan hukum yang kuat. KPPU menilai apkir dini parent stock ini harusnya berlandaskan pada Peraturan Presiden, bukan hanya Surat Direktur Jenderal PKH.

"Padahal, peternak menilai apkir dini merupakan solusi untuk mengatasi jatuhnya harga jual ayam di tingkat peternak. Sekarang kasus di KPPU sudah memasuki tahap Pemeriksaan Lanjutan," tandas Rikrik.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya