Pemerintah Jaga Defisit Anggaran demi Cegah Krisis

Pemerintahan Jokowi akan tetap mempertahankan batasan defisit anggaran sesuai Undang-Undang (UU) Keuangan Negara.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Jul 2016, 14:29 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2016, 14:29 WIB
Juru Bicara Kementerian Keuangan Luky Alfirman.
Juru Bicara Kementerian Keuangan Luky Alfirman. (Foto: Fiki Ariyanti/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akan tetap mempertahankan batasan defisit anggaran sesuai Undang-Undang (UU) Keuangan Negara tidak melampaui 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tujuan dari menjaga defisit anggaran tersebut agar Indonesia bisa terhindar dari krisis atau gagal bayar utang seperti Yunani.

Juru Bicara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Luky Alfirman, saat konferensi pers menegaskan, pemerintah tidak akan menaikkan batasan defisit anggaran hingga lebih dari 3 persen hanya demi memperoleh ruang fiskal lebih lebar.

"Kebijakan memang terkait dengan pilihan, tapi pemerintah tetap konsisten punya aturan yang bermanfaat. Kita masih punya ruang fiskal kok, dan saat ini masih aman," ujar dia di kantornya, Jakarta, Selasa (26/7/2016).

Saat situasi sekarang ini, Luky mengatakan, negara lain mencetak defisit anggaran sangat besar. Bahkan ada yang mencapai 5 persen dari PDB-nya.

Sementara di Indonesia, realisasi defisit anggaran pada semester I-2016 melebar menjadi Rp 230,7 triliun atau sekitar 1,83 persen dari PDB. Periode yang sama tahun lalu, defisit anggaran sebesar Rp 84,3 triliun atau hanya 0,73 persen dari PDB.

Pelebaran defisit fiskal tersebut, dia menambahkan, butuh pembiayaan untuk menambal selisih atau kekurangan antara penerimaan negara dengan belanja negara, salah satunya dengan utang. Namun rasio utang terhadap PDB Indonesia masih 27 persen, berbanding jauh dengan realisasi negara lain.

"Rasio utang Jepang 200 persen dibanding PDB, Amerika Serikat sudah 100 persen, Indonesia baru 27 persen. Masih aman dan sehat," ujar dia.

Rasio utang Indonesia, diakui Luky, pernah mencapai 150 persen dari PDB di periode 1998. Kemudian mengecil menjadi 90 persen setelah krisis keuangan Asia di periode 2000.

"Makanya kita menerapkan kebijakan fiskal secara disiplin dan prudent, defisit dijaga lebih kecil dari 3 persen. Selama 15 tahun, kita bisa menurunkan dari 150 persen ke 27 persen dan menunjukkan ketahanan fiskal yang sehat," jelasnya.

Apabila batasan defisit fiskal diperbesar, kata Luky, risikonya adalah pembengkakan utang yang bisa memicu krisis keuangan. Hal ini yang dialami Yunani akibat pengelolaan fiskal yang salah membuat negara maju ini bangkrut lantaran gagal bayar utang.

"Kalau dibuka (batasan defisit), bisa seperti Yunani. Risiko mengarahnya pada krisis. Memang serba salah, kalau kita jaga supaya tetap 3 persen dibilangnya salah, tapi kalau dibuka kembali 100 persen, utang lagi, kita salah," cetus dia. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya