Pengusaha Minta Kenaikan Bea Masuk Buat Produk Terigu Impor

Tarif bea masuk anti dumping (BMAD) yang rendah malah mematikan industri tepung terigu yang baru beroperasi di Indonesia.

oleh Septian Deny diperbarui 16 Sep 2016, 21:09 WIB
Diterbitkan 16 Sep 2016, 21:09 WIB
ilustrasi tepung terigu
ilustrasi tepung terigu

Liputan6.com, Jakarta ‎Asosiasi Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) meminta pemerintah untuk menaikkan tarif bea masuk anti dumping (BMAD) untuk produk terigu impor. Masuknya terigu impor ini membuat industri di dalam negeri sulit bersaing karena harga yang ditawarkan lebih murah.

Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Lopies mengatakan, impor terigu naik signifikan sejak 2014. Selama ini Indonesia melakukan impor terigu dari tiga negara utama yaitu Turki, Srilanka dan India.

"Impor dari Turki itu naiknya 971,8 persen, dari Srilanka naik 1.000 persen. Hanya dari India yang menurun," ujar dia di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, Jumat (16/9/2016).

Ratna mengungkapkan, pemerintah selama ini menilai pengenaan BMAD terhadap produk terigu akan disalahgunakan pada produsen terigu tertentu untuk meningkatkan pangsa pasarnya di dalam negeri.

Namun faktanya, tarif BMAD yang rendah malah mematikan industri tepung terigu yang baru beroperasi di Indonesia karena tak mampu bersaing.

"Ketakutan pemerintah justru terjadi sebaliknya. Pemerintah takut kalau kenakan BMAD, abuse power pada Bogasari, padahal itu salah. Karena kita menghadapi kompetitor dumping yang jual di bawah harga bahan baku. Nah itu yang kuat bertahan adalah Bogasari. Makanya dominasinya (pangsa pasar) dia menjadi naik dari 52,3 persen menjadi 72 persen," kata dia.

Oleh sebab itu, untuk menyelamatkan industri tepung terigu dalam negeri, Ratna meminta pemerintah untuk menaikan tarif BMAD dari sebelumnya 5 persen menjadi 15 persen. Dengan demikian, produk terigu di dalam negeri bisa bersaing dengan produk impor.

‎"Kami minta 15 persen, karena kita pernah 15 persen di 1998. Kami Ajukan 15 persen. Setidaknya melindungi industri dalam negeri, karena untuk investasi ini kan belum recovery. Jadi misalnya Bogasari berdampak atau agak, mereka sudah tidak ada return of investment karena sudah 40 tahun. UMKM juga tidak pakai terigu impor, ada studi," tandas dia. (Dny/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya