PLN Kantongi Pendapatan Rp 104,7 Triliun pada Semester I

Pertumbuhan pendapatan PLN dari kenaikan konsumsi kWh yang ditopang dari kenaikan pelanggan hingga capai 62,6 juta pelanggan.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 02 Okt 2016, 13:30 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2016, 13:30 WIB
20151217-Sistem-Kelistrikan-Jakarta-AY
Pekerja tengah memasang Trafo IBT 500,000 Kilo Volt di Gardu induk PLN Balaraja, Banten, Kamis (16/12). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - PT PLN (Persero) mencetak realisasi kinerja lebih baik ketimbang periode sama tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dari kenaikan pendapatan penjualan tenaga listrik PLN.

Tercatat pendapatan penjualan tenaga listrik PLN naik 3,15 persen atau Rp 3,2 triliun sehingga menjadi Rp 104,7 triliun selama enam bulan pertama 2016.

Pertumbuhan pendapatan ini berasal dari kenaikan volume kWh menjadi 107,2 Terra Watt hour (TWh) atau naik 7,85 persen dibanding periode sama tahun lalu sebesar 99,4 TWh.

Peningkatan konsumsi kWh ini sejalan dengan kenaikan jumlah pelanggan yang dilayani perusahaan sampai dengan akhir bulan Juni 2016 yang telah mencapai 62,6 juta pelanggan atau bertambah 1,4 juta pelanggan dari akhir tahun 2015 yaitu 61,2 juta pelanggan.

Bertambahnya jumlah pelanggan ini juga mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional yaitu dari 88,3 persen pada Desember 2015 menjadi 89,5 persen pada Juni 2016.

Perusahaan dapat melakukan efisiensi dan penghematan sehingga subsidi listrik pada periode enam bulan pada 2016 turun sebesar Rp 891 miliar menjadi sebesar Rp 26,6 triliun dibandingkan  periode sama 2015 sebesar Rp 27,5 triliun.

Seiring dengan meningkatnya produksi tenaga listrik, beban usaha perusahaan naik sebesar Rp 1,9 triliun atau 1,66 persen menjadi Rp 119,7 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 117,8 triliun.

Penambahan beban usaha masih lebih kecil dibanding pertumbuhan pendapatan karena PLN terus melakukan program efisiensi melalui substitusi penggunaan bahan bakar minyak/BBM dengan penggunaan batu bara atau energi primer lain yang lebih murah, dan pengendalian biaya bukan bahan bakar.

Efisiensi  terbesar terlihat dari berkurangnya biaya Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp 8,4 triliun sehingga pada  2016 menjadi Rp 10,4 trilliun atau 44,52 persen dari tahun sebelumnya Rp 18,8 trilliun, terutama karena penurunan konsumsi BBM 0,6 juta kilo liter sehingga pemakaian sampai dengan Juni 2016 sebesar 2,2 juta kilo liter.

Ebitda perusahaan selama periode enam bulan sepanjang 2016 sebesar Rp 30,2 triliun, naik sebesar Rp 3,3 triliun dibandingkan dengan periode sama tahun lalu sebesar Rp 26,9 triliun.

Hal ini menunjukkan peningkatan kinerja PLN dalam melakukan efisiensi dan perbaikan kemampuan pendanaan internal perusahaan. Perbaikan kinerja PLN pada periode enam bulan pada 2016, mengantarkan Perseroan untuk dapat mencetak laba bersih sebesar Rp 7,9 triliun.

Reassessment ISAK 8


Pada 2015, PLN melakukan re-assessment atas Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8 dan menyimpulkan perjanjian jual beli tenaga listrik antara PLN dengan perusahaan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) tidak tepat kalau dicatat seperti transaksi sewa guna usaha.

Beberapa alasan penerapan perjanjian jual beli listrik tidak tepat diperlakukan seperti perjanjian sewa, antara lain penerapan ISAK 8 tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya serta mengabaikan substansi/fakta legal.

Hal ini membuat PLN seolah-olah harus mencatat aset dan hutang IPP di neraca PLN; dan tidak mencerminkan realisasi kinerja operasi PLN.  

Sebagian besar pengguna laporan keuangan PLN tidak menggunakan laporan keuangan dengan ISAK-8 yaitu investor global bond, perbankan lokal, otoritas perpajakan, dan BPK-RI dalam perhitungan subsidi listrik.

Selain itu, penerapan ISAK-8 telah meningkatkan beban keuangan Negara yaitu kenaikan subsidi listrik sekitar Rp 2 triliun per tahun, dan penurunan potensi penerimaan negara dari dividen.

Di samping itu, dengan penerapan ISAK-8 kemampuan PLN sebagai proxy Pemerintah untuk menjalankan proyek 35.000 MW dan tugas-tugas selanjutnya menjadi semakin terbatas karena harus memikul beban hutang IPP sekitar US$ 40 miliar beberapa tahun ke depan.

Selain itu dengan penerapan ISAK 8, hutang valas Indonesia seolah bertambah karena adanya double counting yakni di buku di IPP dan juga di buku di PLN.

Untuk menghindari perbedaan pendapat dengan akuntan publik, maka Direksi PLN pada 2015 telah mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk diberikan pengecualian (waiver) penerapan ISAK-8.

Pihak pemerintah RI yaitu Menteri BUMN dan Menteri Keuangan telah memberikan dukungan atas posisi PLN, sebagaimana dinyatakan dalam surat Menteri Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nomor S-246/MK/2016 tanggal 5 April 2016 perihal dukungan atas pengecualian penerapan ISAK 8 pada laporan keuangan PT PLN (Persero).

Hingga laporan keuangan Juni 2016 diterbitkan, OJK belum memberikan persetujuan atas permohonan PLN tersebut.

Kantor Akuntan Publik Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan (PWC) sebagai Auditor Ekternal PLN belum sepakat dengan hasil re-assessment ISAK 8 yang dilakukan oleh PLN, sehingga laporan keuangan Juni 2016 diterbitkan dengan opini wajar dengan pengecualian (Qualified Opinion). (Pew/Ahm)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya