Liputan6.com, Jakarta - Terbukanya pintu bagi pihak swasta untuk mengembangkan proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) dikhawatirkan akan berdampak pada tingginya tarif listrik yang harus dibayar masyarakat.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan,‎ peran swasta makin meningkat dalam sektor kelistrikan terutama di proyek pembangkit listrik 35 ribu MW. Pihak swasta ini masuk melalui skema independent power producer (IPP).
"Dominasi IPP dalam penyediaan listrik nasional merupakan kondisi serius yang mendesak untuk diperbaiki," ujar dia di Jakarta, Selasa (22/11/2016).
Dia menuturkan, dengan skema take or pay yang berlaku saat ini, ditambah penentuan reserve marging yang berlebihan maka akan meningkatkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.‎ Dengan demikian, konsumen listrik harus membayar tarif listrik yang lebih mahal.
Baca Juga
"Cadangan umum yang berlaku di perusahaan dunia itu sekitar 30 persen-35 persen. Jangan sampai karena swasta lebih besar jadi 50 persen cadangannya. Itu membuat BPP listrik jadi lebih besar. Alhasil tarif listrik jadi lebih mahal," kata dia.
Marwan mengatakan, lebih baik pemerintah mendorong dominasi PLN dalam pembangunan pembangkit listrik di sisi hilir, ketimbang fokus menggarap sektor hulu dengan mengakuisisi Pertamina Geothermal Energy (PGE).
‎
Selain itu, untuk mengembangkan sumber daya salam panas bumi yang dimiliki oleh Indonesia, lebih pemerintah membentuk BUMN khusus geothermal yang besar. Sebab dengan dengan potensi panas bumi yang besar, Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan hal itu menjadi suplai Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
"Hal ini sekaligus akan menjadi koreksi atas dominaasi BUMN yang minim di sektor migas sekira 20 persen atau minerba sekira 10 persen. Namun pelaksanaannya dapat dilakukan oleh PGE sendiri tanpa harus melibatkan PLN yang sepatutnya berkonsentrasi di hilir," ujar dia.
Advertisement