Liputan6.com, Jakarta Organisasi ‎Angkutan Darat (Organda) meminta pemerintah daerah (Pemda) segera membuat aturan guna menindaklanjuti pemberlakukan Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Salah satu isi dalam PM tersebut yaitu soal penentuan tarif batas atas dan batas bawah serta kuota unit angkutan termasuk untuk angkutan berbasis aplikasi atau taksi online. Kedua hal tersebut diatur oleh Pemda masing-masing.
Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengatakan, saat ini yang masih menjadi persoalan yaitu implementasi aturan dari PM Perhubungan tersebut di tingkat daerah. Jika Pemda tidak segera membuat aturan turunan dari PM ini, maka gejolak yang terjadi antara pengemudi angkutan konvensional dan berbasis online masih akan terus terjadi.
Advertisement
"Yang menjadi persoalan, pemerintah daerah harus cepat tanggap terhadap isi revisi da‎ri PM Perhubungan Nomor 32. Kalau tidak, ini akan tetap bergejolak di daerah. Karena perusahaan aplikasi ini masif sekali melakukan ekspansi, merekrut anggota-anggota baru yang kendaraan-kendaraan plat hitam. ‎Jadi pemerintah daerah harus proaktif mengakomodir PM 32 dan mengimplementasikannya," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (15/3/2017).
Shafruhan mengungkapkan, kerap terjadinya bentrok antara pengemudi angkutan konvensional dan berbasis online lantaran salah satu pihak merasa tersisihkan. Terlebih dengan munculnya angkutan berbasis aplikasi ini membuat pengemudi angkutan konvesional mengalami penurunan pendapatan secara drastis.
‎"Ini masalahnya bukan lagi di tingkat pengusaha, tapi di pengemudi. Kenapa mereka turun demo, karena ini masalah perut. Pengemudi kerja hari ini untuk hari ini, bukan untuk puluhan tahun yang akan datang. Kalau pengusaha berkarya hari ini untuk 10 tahun yang akan datang, selalu begitu," jelas dia.
Selain itu, Shafruhan juga meminta ketegasan pemerintah pusat mengenai hal ini. Menurut dia, angkutan konvensional selama ini menjadi korban padahal memiliki izin resmi dan telah berbadan hukum.
"Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus benar-benar tegas menerapkan aturan yang ada sesuai dengan UU 22/2009. Kalau tidak saya khawatir pergerakan nasional akan terjadi. Yang jadi persoalan adalah ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan aturan yang ada," tandas dia.