Kalah dengan Online, Operator Taksi di Jakarta Tinggal 4 Pemain

Pada periode 2013-2014, taksi yang beroperasi di Jakarta ada 25.550 unit.

oleh Septian Deny diperbarui 25 Mar 2017, 15:00 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2017, 15:00 WIB
Ilustrasi Foto Taksi Online (iStockphoto) ​
Ilustrasi Foto Taksi Online (iStockphoto) ​

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan transportasi berbasis aplikasi atau taksi online memukul bisnis taksi konvensional. Sebagai bukti, dari 35 operator taksi yang ada di Jakarta, kini hanya tersisa 4 operator taksi yang masih bertahan.

Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta Shafruhan Sinungan mengatakan, pada periode 2013-2014, taksi yang beroperasi di Jakarta ada 25.550 unit dari 27.400 izin yang dikeluarkan oleh Pemda DKI. Namun sekarang yang beroperasi hanya tinggal 9.000-an unit saja.

"Dan dari 35 operator taksi di 2013-2014, sekarang tinggal 4 perusahaan taksi yang ada. Sisanya tutup," ujar dia di Jakarta, Sabtu (25/3/2017).

Hal ini karena operator taksi yang resmi ini tidak sanggup bersaingan taksi online yang dinilai tidak tidak memiliki izin dan jumlahnya semakin masif.

"Kalau kita kan datanya jelas, kendaraan jelas, warna jelas. Tapi yang kita hadapi taksi 'hantu' yang mereka bisa tentukan tarif sendiri. (Yang tutup) Banyak, seperti Taxiku, Sri Medali, KTI (Koperasi Taksi Indonesia), Kosti. Taxiku izinnya 2.500, sekarang yang beroperasi tidak sampai 400 unit," kata dia.

Dengan tutupnya sejumlah operator taksi ini, lanjut Shafruhan, mau tidak mau menimbulkan pengangguran baru. "Ini juga terjadi pengurangan jumlah pegawai seperti supir. Ini berarti ada yang diberhentikan karena operatornya sudah tidak jalan, ini timbulkan pengangguran baru. Yang kehilangan pekerjaan puluhan ribu orang," lanjut dia.

Meski ada juga pengemudi taksi konvesional yang beralih ke taksi online, namun menurut dia hal tersebut tidak akan berlangsung lama. Sebab, jika pemerintah tidak mengatur kuota taksi online, maka para pengemudi ini akan saling berbenturan dan terjadi persaingan yang tidak sehat. Hal ini harusnya menjadi perhatian pemerintah.

"Tapi ada juga yang gabung dengan aplikasi, mereka cari hutangan. Tapi sekarang mereka mulai kacau karena penghasilan sudah tidak sesuai. Makanya kalau kuota ini tidak dijaga, persaingan tidak sehat bisa terjadi, sekarang saja antar aplikasi saja sudah saling bentur-benturan," tandas dia. (Dny/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya