Orang Kaya di Dunia Sembunyikan Harta US$ 8,5 Triliun

Menkeu Sri Mulyani menyatakan praktik menghindari pajak terus meningkat dan menjadi perhatian dunia karena menggerus penerimaan pajak.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Mei 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 29 Mei 2017, 19:00 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, sekitar US$ 8,5 triliun harta atau aset orang-orang kaya di dunia tersembunyi di beberapa negara surga pajak (tax haven). Diduga, orang-orang kaya ini menyimpan asetnya tersebut untuk menghindari pajak.

"Data dari Boston Consulting Group 2013, ada US$ 8,5 triliun harta atau aset masyarakat dunia, terutama dari Eropa Barat dan Asia Pasifik yang disembunyikan di Swiss, Hong Kong, Luxemburg, Panama, dan Uni Emirate Arab (UEA)," kata Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/5/2017).

Jika dihitung dengan kurs Rp 13.300 per dolar AS, maka nilai US$ 8,5 triliun itu sekitar Rp 113.050 triliun.

Sri Mulyani mengatakan negara-negara di dunia berkomitmen bahu-membahu mengatasi masalah pelik terkait penghindaran atau penggelapan pajak. Dia mengaku, salah satu modus pengelakan pajak adalah dengan menggeser keuntungan dari hasil kegiatan usaha dan menyimpannya ke negara suaka pajak.

"Praktik penghindaran pajak terus meningkat. Ini menjadi perhatian dunia karena menggerus penerimaan pajak negara-negara maju, berkembang, maupun emerging. Penerimaan dan basis pajak sangat penting bagi perekonomian sebagai instrumen penangkal krisis, dan alat membiayai pembangunan," jelas dia.

Oleh karena itu, para pemimpin negara-negara anggota G20 sepakat untuk melakukan perjanjian kerja sama internasional di bidang perpajakan atau yang disebut dengan Automatic Exchange of Information (AEoI). Sebanyak 100 negara sudah berkomitmen ikut AEoI, yakni 50 negara diantaranya menerapkan AEoI pada September 2017 dan 50 negara lainnya termasuk Indonesia pada September 2018.

Untuk memenuhi komitmen tersebut, Indonesia harus menyiapkan peraturan primer berupa perundang-undangan dan peraturan sekunder paling lambat 30 Juni 2017. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Keterbukaan Informasi untuk Kepentingan Perpajakan.

"Perppu ini mencabut pasal-pasal kerahasiaan data keuangan dalam 5 UU. Kalau kita tidak punya akses data otomatis, maka kita tidak selevel dengan negara lain yang sudah komitmen dengan AEoI. Dampaknya kalau kita tidak patuh, kita tidak bisa mendapatkan informasi dari wajib pajak kita di luar negeri," ujar dia.

Selain itu, tanpa keterbukaan akses informasi keuangan di domestik maupun dalam rangka perjanjian internasional, kesenjangan semakin besar. "Sebanyak 1 persen orang-orang kaya di Indonesia ini punya kemampuan lebih besar untuk melakukan penghindaran pajak. Itu artinya 82 persen penerimaan negara kita dari wajib pajak di sini, itu kan tidak adil," tegas Sri Mulyani.

Sri Mulyani memaparkan, Perppu Nomor 1 Tahun 2017 diterbitkan lantaran kondisi yang mendesak untuk memberi akses kepada otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan guna kepentingan perpajakan.

"Kita juga sedang memfinalisasi PMK sebagai aturan turunan Perppu yang akan mengatur teknis pelaksanaan meliputi penjelasan objek yang harus dilaporkan sesuai CRS, prosedur rekening keuangan sesuai CRS, lembaga yang wajib lapor, kerahasiaan data wajib pajak, dan pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap lembaga keuangan yang tidak melapor," jelas dia.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya