RI Digugat India Metals Rp 7,7 Triliun, JK Sindir Pemda

Pemerintah Indonesia harus berhadapan dengan forum arbitrase internasional dalam kasus melawan India Metals.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 18 Agu 2017, 15:32 WIB
Diterbitkan 18 Agu 2017, 15:32 WIB
Bersama Menkominfo, Wapres JK Resmikan Jaringan Wartawan Anti Hoax
Wakil Presiden, Jusuf Kalla memberikan sambutan jelang peluncuran Jaringan Wartawan Anti Hoax di Jakarta, Jumat (28/4). Selain meresmikan Jawarah, Wapres JK juga menyaksikan pemberian penghargaan HPN 2017. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia harus berhadapan dengan forum arbitrase internasional di Permanent Coirt of Arbitration di Den Hag dalam Kasus melawan India Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA), sebuah perusahaan berbadan hukum India. Perusahaan ini menggugat pemerintah senilai Rp 7,7 triliun atau sekitar US$ 581 juta.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyindir ini adalah kesalahan dari daerah yang menyalahartikan Pasal 33 UUD 1945 di mana ada kata "menguasai". JK menyebut, "menguasai" di sini artinya bukan menguasai sepenuhnya, tapi perlu ada aturan. Akibat dari hal ini, pemerintah digugat triliunan rupiah oleh perusahaan tambang tersebut.

"UU Pasal 33 tentang menguasai tentu menguasai mempunyai arti yang luas bukan hanya memiliki, tapi mengontrol, namun perlu ada suatu ketentuan-ketentuan," tuturnya.

Dikatakan JK, karena hal itu juga, perusahaan mengambil celah dari kata "menguasai" tersebut dan akhirnya menuntut pemerintah. JK menyebut kasus ini terjadi di sejumlah daerah.

"Pemerintah telah banyak mengeluarkan UU dengan DPR, PP dan sebagainya, namun juga masih ada celah-celah orang memainkan arti 'menguasai' itu. Banyak kasus di daerah diberikan izin seperti tadi, kemudian dia menuntut pemerintah triliunan rupiah akibat kesalahan bupati, pemerintah daerah menuntut triliunan di Kalimantan, triliunan di Sulawesi Tenggara," katanya.

"Itu merupakan bagian dari kita semua mempunyai suatu pengertian yang sama, maksud dan tujuan untuk menguasai itu," tambahnya.

JK mengatakan, ke depan tidak ada lagi kasus semacam ini sehingga pemerintah dituntut. "Namun kita sudah satu kalimat tidak ada lagi itu masih dalam proses mahkamah internasional," ujarnya.

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia kembali ‎mendapat gugatan arbitrase internasional dari perusahaan tambang asing asal India, karena tidak bisa melakukan kegiatan penambangan.

Kepala Bagian Hukum Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Heriyanto‎ mengatakan, pemerintah Indonesia sedang berhadapan dengan investor asing dalam forum arbitrase internasional di Permanent Coirt of Arbitration di Den Hag dalam Kasus melawan India Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA), sebuah perusahaan berbadan hukum India.

"Arbitrase IMFA kami digugat di arbirtase," kata Haryanto, di Kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Jakarta, Rabu (18/11/2015).

Menurut Heriyanto, dalam gugatan arbitrase tersebut, pemerintah dituntut Rp 7,7 triliun atau US$ 581 juta karena tidak bisa melakukan kegiatan produksi batu bara yang disebabkan tumpang tindih lahan dengan tujuh Izin Usaha Pertambangan (IUP).

"Mereka sudah tahap IUP produksi karena tumpang tindih lahan dengan tujuh IUP lain wilayahnya melampaui," tutur Heriyanto.

Heriyanto‎ mengungkapkan, agar perusahaan tambang bisa melakukan kegiatan produksi harus menempuh berbagai syarat yaitu studi kelayakan, izin lingkungan dan konstruksi."Ini presedent buruk bagi perusahan non CNC dibeli perusahaan asing," pungkas Heriyanto.

Gugatan sudah masuk arbitrase pada 23 September 2015. Pemerintah akan melakukan sidang perdana di persidangan arbitrase Singapura pada 6 Desember 2015. Pemerintha pun digugat sekitar US$ 581 juta atau Rp 7,7 triliun.

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya