OJK Tepis Sektor Ritel Terganggu

OJK melihat pertumbuhan kredit ritel salah satu bank BUMN lebih besar ketimbang kredit korporasi.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 31 Okt 2017, 21:10 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2017, 21:10 WIB
20151104-OJK Pastikan Enam Peraturan Akan Selesai Pada 2015
Tulisan OJK terpampang di Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jakarta,(4/11/2015). Pengawas Pasar Modal OJK mengatakan pembahasan enam langkah sudah final karena tidak ada lagi perdebatan dari segi substansi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menepis ada kelesuan pada sektor ritel. Hal tersebut dibuktikan dari pertumbuhan kredit ritel maupun angka kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengantongi data pertumbuhan kredit perbankan. Tak secara rinci, Wimboh mengatakan, pertumbuhan kredit sektor ritel meningkat.

"Kalau kita lihat pertumbuhannya, kebetulan kami punya angka individual bank maupun total. Itu bank-bank besar justru kredit ritel meningkat dan NPL-nya paling kecil," kata dia di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta, Selasa (31/10/2017).

Dia menuturkan, pertumbuhan kredit ritel salah satu bank BUMN lebih besar dibanding kredit korporasi. "Kalau kita lihat pertumbuhan kredit ritel salah satu bank BUMN besar lebih besar dari kredit corporate-nya 7,6 persen," sambung dia.

Tak hanya itu, bank spesialis ritel juga mencatat kenaikan kredit ritel cukup tinggi. Meski, pihaknya tak menyebut secara rinci.

"Salah satu bank memang spesialis di ritel naiknya cukup tinggi bahkan juga NPL relatif-nya rendah. Jadi sebenarnya untuk aktivitas ritel ini kok kayaknya tidak terganggu. Dilihat dari segi kredit dan NPL-nya," kata dia.

Atas kondisi ini, Wimboh menyebut, transaksi ritel masih ada, hanya wadah transaksinya berbeda. "Ini kemungkinan memang sebenarnya transaksi itu ada. Namun outlet-nya yang berbeda," tutur Wimboh.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 

Sri Mulyani Cs Waspadai Isu Penurunan Daya Beli

Sebelumnya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mewaspadai sentimen negatif dari penurunan daya beli masyarakat terhadap stabilitas sistem keuangan nasional. Penurunan pertumbuhan konsumsi masyarakat kelas menengah hingga perubahan bisnis dari konvensional ke era digital menjadi fokus perhatian KSSK.

Hal ini disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati sebagai salah satu anggota KSSK saat Konferensi Pers di kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa 31 Oktober 2017.

Pimpinan tiga institusi atau anggota KSSK yang hadir, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, dan Anggota Dewan Komisioner LPS Fauzi Ichsan.

"Kami mencermati berkembangnya sentimen negatif penurunan daya beli. Persepsi penurunan daya beli ini terus menerus menjadi perhatian kami. Kami di KSSK, melihat apakah ini persepsi atau riil," kata Sri Mulyani.

Dia menjelaskan, penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari seluruh sektor ekonomi tercatat positif dan cukup kuat dengan pertumbuhan dua digit. Dia menuturkan, ini menggambarkan adanya aktivitas ekonomi dalam pembayaran pajak tersebut.

"Ini yang membuat kami melakukan penelitian mengenai persepsi daya beli," Sri Mulyani mengatakan.

Lebih jauh dia menuturkan, data dari Household Consumption menunjukkan untuk pertumbuhan konsumsi dari 30 persen masyarakat berpenghasilan rendah lebih tinggi dibanding tahun lalu.

Sri Mulyani mengatakan, sesuai instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi), seluruh menteri dan pemerintah daerah (pemda) fokus memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sehingga berdampak di tahun depan.

"Realisasi dari anggaran transfer ke daerah yang menyentuh masyarakat bawah akan tercapai sampai Desember sehingga pertumbuhan konsumsi 30 persen masyarakat terbawah masih positif. Dengan inflasi yang rendah, harga terjaga, membantu mereka," tutur Sri.

Sementara di kelas menengah, Ia menambahkan, pertumbuhan konsumsi tahun ini sekitar 5 persen-6 persen. Namun demikan, Sri Mulyani mengaku, pertumbuhan konsumsi ini lebih rendah dibanding tahun lalu yang mencapai lebih dari 8 persen.

"Pemerintah tetap optimistis pertumbuhan konsumsi dapat bertahan di level 5 persen sampai akhir tahun ini. Jadi yang kami sebut risiko tadi jangan sampai terjadi dan kami akan terus memberi informasi kepada masyarakat terkait daya beli dan pertumbuhan konsumsi ini," papar dia.

Sri Mulyani menambahkan, dalam perekonomian saat ini terjadi dua hal, yakni perubahan proses bisnis menuju digital dan tingkah laku kelompok generasi muda. "Dua hal perubahan ini yang harus disimak secara seksama, jadi pergeseran bukan penurunan," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya