Liputan6.com, Jakarta - Orang-orang terkaya Arab Saudi berbondong-bondong memindahkan asetnya ke luar negeri untuk mengindari resiko tertangkap pihak berwajib. Penangkapan terhadap petinggi kerajaan dan belasan pebisnis memberi ketakutan tersendiri bagi orang-orang berduit di sana, menurut sumber yang tidak ingin diungka identitasnya.
Beberapa miliarder Arab Saudi menjual investasi mereka di negara Gulf Coopertaion Council (GCC) dan mengubahnya ke dalam bentuk tunai atau kepemilikan di luar negeri. Sebagian miliarder yang lain bahkan sedang dalam diskusi dengan manajer keuangannya untuk memindahkan asetnya ke 'tempat yang lebih aman'.
Advertisement
Baca Juga
Sebelumnya, praktik di jazirah Arab Saudi diestimasi merugikan negara US$ 100 miliar selama beberapa dekade, menurut Jaksa Agung Sheikh Saud Al Mojeb. Total 208 individu telah ditangkap untuk dimintai keterangan, dan 7 diantaranya dibebaskan.
Sebelum penangkapan dari puluhan petinggi kerajaan dan pebisnis, orang berduit asal Arab Saudi adalah kesayangan bank-bank global seperti Deutsche Bank, UBS, Credit Suisse. Institusi keuangan ini berlomba-lomba mengelola kekayaan para miliarder tersebut.
"Banyak investor luar negeri melihat kawasan teluk sebagai tempat yang stabil dan dapat diprediksi untuk berbisnis. Ada persepsi yang berkembang bahwa tata kelola menjadi semakin sewenang-wenang atau setidaknya kurang berbasis peraturan," tutur ekonom Standard Chartered Bank London, Philippe Dauba-Pantanacce dilansir dari The Independent, Rabu (22/11/2017).
Menyusul penangkapan tersebut, bank sentral Arab Saudi meminta bank komersil lain untuk membekukan aset dari puluhan orang yang tertangkap. Lebih lanjut, bank sentral Uni Emirat Arab juga diminta keterangan tentang 19 warga Arab Saudi yang terlibat dalam dugaan korupsi tersebut.
Kini pihak Kerajaan tengah berunding dengan orang-orang yang ditangkap. Mereka diwajibkan untuk menyerahkan 70 persen aset apabila ingin bebas.
Ada kesepakatan soal memisahkan uang dengan aset seperti properti dan saham. Pemerintah juga akan memeriksa akun bank untuk mengecek jumlah uang milik orang-orang yang ditahan," kata sumber yang dirahasiakan identitasnya.
Jika mereka setuju maka dana itu akan masuk ke anggaran pemerintah. Arab Saudi selama ini sangat bergantung dengan minyak dan rendahnya harga minyak dalam beberapa tahun belakangan menyebabkan defisit anggaran mencapai rekor hingga US$ 98 miliar pada 2015 dan tahun lalu defisit mencapai US$ 79 miliar.
Pemerintah Arab Saudi juga memotong pengeluaran negara dan menaikkan pajak untuk mengatasi defisit anggaran. Pengamat menilai tawaran kesepakatan ini bisa mengakhiri kehebohan kampanye anti-korupsi di Saudi tapi juga mempengaruhi citra Saudi di mata para investor.
Selanjutnya
Praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan petinggi kerajaan itu ternyata memberikan kerugian yang tidak sedikit. Jaksa Agung Arab Saudi, Sheikh Saud Al Mojeb, mengestimasi negara telah dirugikan US$ 100 miliar atau Rp 1.353 triliun (asumsi kurs Rp 13.535 per dolar Amerika Serikat) akibat praktik KKN di lingkungan pejabat selama beberapa dekade.
Dilansir dari Washington Post, ternyata praktik korupsi di kerajaan Arab Saudi tidaklah dilakukan dengan penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, seperti jalan-jalan atau suap, tetapi pejabat-pejabat ini sering menggelembungkan nilai kontrak proyek tertentu.
Para pangeran Arab dan pejabat senior bisa tiba-tiba menjadi miliarder gara-gara kontrak yang nilainya dilipatgandakan berkali lipat. Tak jarang, kontrak itu malah hanya ada di atas kertas alias fiktif belaka.
Salah satu contohnya proyek pembangunan gorong-gorong besar-besaran di Jeddah. Kontraktor hanya menaruh penutup lubang got di seluruh kota, tapi tidak pernah ada pipa pembuangan di bawahnya.
Contoh lainnya adalah pembangunan bandara di lokasi yang tidak semestinya. Hanya agar pangeran yang memiliki tanah tersebut mendapatkan keuntungan besar.
Sementara terkait dengan pangeran dan miliarder Alwaleed Bin Tawal, pria ini disebut terlibat pencucian uang, suap, dan kerap memeras para pejabat.
Hal yang sama juga dilakukan oleh mantan menteri utama kerajaan dan kepala Garda Nasional, Pangeran Miteb. Pangeran satu ini diduga melakukan penggelapan dan memberikan kontrak pada perusahaannya sendiri senilai puluhan miliar dolar AS.
Advertisement