Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumpulkan data transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) mulai Januari 2017.
Upaya ini diakui Asosiasi E-commerce Indonesia (Indonesian E-Commerce Association/idEA) sempat membuat kekhawatiran pelaku usaha bisnis online karena beberapa hal.
Ketua Bidang Ekonomi dan Bisnis idEA, Ignatius Untung mengungkapkan idEA mendorong 320 anggotanya untuk memberikan data transaksi penjualan, termasuk identitas perusahaan kepada BPS. Pihaknya akan menjembatani antara pelaku usaha dengan BPS.
Advertisement
Baca Juga
"Kami membantu komunikasi supaya BPS bisa memperoleh data dari pelaku e-commerce. Nilai dan volume transaksi, metode pembayaran, merchant atau penjual, dan data detail per individu yang akan diserahkan ke BPS. So far sih menanggapi positif," ujar Untung di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (15/12/2017).
Dia menuturkan, idEA akan menjelaskan kepada pelaku usaha e-commerce mengenai manfaat dari pengumpulan data tersebut, salah satunya mengenai kinerja perusahaan e-commerce. Artinya pelaku usaha dapat mengetahui pertumbuhan perusahaan baik secara bulanan maupun tahunan.
"Kalau ada yang tidak mau memberikan data ke BPS, kami coba jelaskan manfaat dan tujuan pengumpulan data tersebut. Karena kami pun sebagai asosiasi tidak akan memegang data player, semua langsung ke BPS," Untung menjelaskan.
Lebih jauh dia mengatakan, ada beberapa alasan ketakutan pelaku usaha e-commerce enggan memberikan data ke BPS maupun membukanya ke publik. Pertama, karena data tersebut bersifat pribadi. Artinya, perusahaan menganggap bahwa tidak wajib memberikan data karena belum menjadi perusahaan terbuka.
"Kedua, kalau mereka buka datanya, mereka takut tidak bisa mencari pendanaan dari investor. Ketiga, takut soal pajak. Datanya takut sampai ke Ditjen Pajak," tegas Untung.
Padahal, dia menerangkan, BPS terikat aturan untuk menjaga kerahasiaan data responden atau individu. Untung bilang, BPS tidak akan memberikan data individu kepada siapapun.
"Saya sudah bilang data individu sampai menteri pun tidak dikasih. Jadi tidak ada alasan pelaku usaha e-commerce tidak mau memberikan data ke BPS, karena ini sama sekali tidak akan ke Ditjen Pajak," tutur dia.
Sejauh ini dalam proses pengumpulan data bisnis online di Indonesia, Untung mengaku, baru bersifat sukarela. Dengan kata lain, pelaku usaha yang enggan memberikan data ke BPS, tidak dikenakan sanksi.
"Sekarang masih voluntary, tidak dikenakan sanksi karena sifatnya tidak bisa memaksa. Tapi kalau tidak mau ngasih data, jangan minta benefit dari data ini," kata Untung.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Bappenas: Belanja Online Sudah Mulai Serius
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menganggap pergeseran belanja masyarakat dari ritel konvensional ke online sudah semakin serius. Sayangnya, Indonesia belum mampu mendeteksi seluruh transaksi belanja online.
"Meskipun porsinya belum terlalu besar, pengalihan dari belanja ritel menjadi online sudah mulai serius," tegas dia di Jakarta, Jumat 15 Desember 2017.
Menurut Bambang, banyak pihak berpendapat bahwa transaksi dari bisnis online (e-commerce) masih kecil terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Dari data sebelumnya, transaksi ‎bisnis online hanya sekitar 1-2 persen dari PDB Indonesia.
"Yang orang ributkan porsinya masih kecil, itu kan yang tercatat. Yang belum tercatat porsi belanja online yang tidak dilakukan melalui e-commerce, misalnya taruh promosi produk di Instagram, langsung ada transaksi, itu yang masih sulit terdeteksi," dia menjelaskan.
Bambang mengatakan, pemerintah dan seluruh ‎pihak terkait harus menguatkan data kegiatan dari bisnis online. "Bukaan menganggap online akan menggantikan segalanya, tapi di belahan dunia lainnya, kita melihat satu persatu ritel harus menyesuaikan dengan kegiatan online terkait belanja," ujarnya.
Terpisah, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia, Frederico Gil Sander mengatakan, kehadiran e-commerce bukanlah menjadi pendorong signifikan penjualan ritel ‎melesu. "E-commerce tidaklah menjadi pendorong signifikan, karena transaksinya masih kurang dari 2 persen terhadap PDB," ucapnya.
Advertisement