Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak mentah terus merangkak naik. Pada Selasa (16/1/2018), harga minyak Brent yang merupakan patokan global, telah menyentuh level US$ 70,73 per barel. Kondisi ini membuat pemerintah terus memantau kenaikan harga minyak mentah untuk mengambil keputusan mengenai harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial mengatakan, pemerintah memang telah memutuskan harga BBM tidak naik hingga 31 Maret 2017. Namun meski begitu pantauan terhadap pergerakan harga minyak dunia ini harus terus dilakukan terlebih harga tak pernah turun.
"Memang pemerintah sudah memastikan 31 Maret tidak naik, tapi ini pemerintah terus memantau pada bulan ini hingga bulan depan untuk menentukan arah harga migas," kata Ego, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (16/1/2018).
Advertisement
Baca Juga
Kementerian ESDM akan terus melakukan evaluasi pergerakan harga minyak setiap pekan, untuk mencari batas harga minyak yang dijadikan acuan pengambilan keputusan terhadap harga BBM jenis Premium penugasan dan Solar bersubsidi.
"Kami evaluasi nih tiap minggu dalam rapim. Jadi nanti ada keputusan sebelum Maret, kalau dilihat ya memang naik (harga minyak). Ya maksudnya pemerintah harus bertindak nih, kan ada batasan limit pemeritah harus," paparnya.
Ego mengungkapkan, dalam mengambil keputusan pemerintah akan mencermati berbagai aspek, termasuk mempertimbangkan daya beli masyarakat.
Dia pun belum bisa memastikan harga Premium penugasan dan Solar bersubsidi akan naik mengikuti pergerakan harga minyak dunia.
"Yang penting gini pemritah mengamati mencermati semua segala macam, cuma pada akhirnya kan pemerintah mendengar 250 juta suara rakyat, kemapuan daya beli juga harus dilihat, artiya saya belum bisa kasih jawaban sekarang," tutup Ego.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Harga Minyak Dekati Level Tertinggi dalam 3 Tahun
Harga minyak mentah dunia mendekati level tertinggi dalam tiga tahun di atas US$ 70 per barel.
Ini terjadi di tengah tanda-tanda bahwa pemotongan produksi oleh OPEC dan Rusia bisa memperketat pasokan, meskipun para analis memperingatkan adanya dampak dari lonjakan produksi minyak di Amerika Serikat (AS).
Melansir laman Reuters, Selasa (16/1/2018), harga minyak patokan internasional Brent terakhir diperdagangkan 29 sen lebih tinggi menjadi US$ 70,16, setelah sempat naik ke level tertinggi US$ 70,37 per barel di awal sesi.
Sementara harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) menguat 51 sen menjadi US$ 64,81 per barel. Kedua patokan minyak tersebut mencapai level yang tidak terlihat sejak Desember 2014, meski perdagangan berlangsung tipis karena libur di Amerika Serikat.
Kebijakan pemotongan produksi antara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak, Rusia dan produsen lainnya telah memberikan dampak besar terhadap harga minyak.
Tanda-tanda pengetatan pasar setelah harga melemah selama tiga tahun telah memperkuat kepercayaan di antara para pedagang dan analis.
"Ini mengejutkan banyak orang dan saya pikir (harga) akan berkelanjutan. Kami melihat kenyataan permintaan yang kuat dan penurunan pasokan," kata Phil Flynn, Analis di Price Futures Group.
Bank of America Merrill Lynch pada hari Senin menaikkan perkiraan harga Brent pada 2018 menjadi US$ 64 per barel dari US$ 56. Perusahaan juga meramalkan adanya defisit produksi minyak 430 ribu barel minyak per hari (bpd).
"OPEC dan produsen non-OPEC tetap berkomitmen untuk mengurangi produksi pada saat yang sama permintaan minyak dunia terus meningkat," kata Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates di Houston.
Advertisement
Bisa Turun
Namun, beberapa analis telah memperingatkan bahwa laju harga minyak sebesar 13 persen sejak awal tahun ini bisa turun karena pemeliharaan kilang global dan meningkatnya produksi dari Amerika Utara.
Perusahaan energi AS juga menambahkan 10 rig minyak yang beroperasi pada 12 Januari, sehingga total yang beroperasi menjadi 752, menurut keterangan perusahaan jasa energi Baker Hughes (GE.N) pada hari Jumat. Ini menjadi kenaikan terbesar sejak Juni 2017.
Di Kanada, perusahaan energi hampir melipatgandakan jumlah pengeboran rig minyaknya pada minggu lalu sehingga menjadi 185, tingkat tertinggi dalam 10 bulan.
Konsultasi yang berbasis di Wina, JBC Energy memperkirakan produksi minyak AS akan tumbuh 600 ribu bph pada kuartal pertama 2018 dibandingkan tahun sebelumnya.
"Dari perspektif fundamental, lonjakan uang bantuan di AS berhasil menghasilkan tanda merah yang jelas bagi kami," jelas dia
Namun Flynn mengatakan kenaikan yang cepat pada output minyak AS masih tidak begitu jelas.