Tolak Impor Garam Industri, Ratusan Petani Bakal Demo

Kebutuhan garam untuk beberapa industri sudah terpenuhi dari produksi garam rakyat.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Jan 2018, 06:45 WIB
Diterbitkan 29 Jan 2018, 06:45 WIB
Petani Garam Jeneponto Batal Rasakan 'Bulan Madu'
Harga garam yang tinggi semanis bulan madu justru tak bisa dirasakan sama sekali oleh petani garam di Jeneponto. (Liputan6.com/Ahmad Yusran)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI), khususnya wilayah Surabaya akan menggelar demo di kantor Gubernur Jawa Timur (Jatim) terkait impor garam industri oleh pemerintah sebanyak 3,7 juta ton. Rencananya garam industri impor tersebut mulai datang pada akhir bulan ini di Surabaya.

"Infonya akhir bulan ini impor garam untuk pengasinan ikan mau datang ke Surabaya," ucap Ketua APGRI, Jakfar Sodikin saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Senin (29/1/2018).

Dia beralasan, kebutuhan garam untuk beberapa industri, seperti pengasinan ikan, aneka pangan, penyamakkan kulit, pengeboran minyak, industri es sudah terpenuhi dari produksi garam rakyat.

"Kalau kayak ikan asin, itu kan ikan asin dibelah, dijemur, lalu ditaburin (garam). Untuk penyamakkan kulit juga begitu. Nah itu cocoknya garam lokal karena teksturnya tidak keras," jelasnya.

 Atas dasar hal ini, Jakfar menegaskan, akan mengerahkan sedikitnya 100 petani garam di Surabaya untuk berunjuk rasa di kantor Gubernur dan DPRD Jawa Timur.  Akan tetapi, sambungnya, jika petani garam di Jawa Tengah dan daerah lain ingin ikut bergabung, maka demo akan berlangsung di Jakarta.

"Kami sepakat demo dengan massa minimal 100. Kan datangnya di Surabaya, jadi demonya di kantor Gubernur dan DPRD Jawa Timur. Tapi kalau dari Jawa Tengah menghendaki, kita bisa ke Jakarta," paparnya.

Menurut Jakfar, impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton sangat merugikan para petani garam di Indonesia, termasuk di Surabaya. Pasalnya di Kota Pahlawan saja, dia bilang, ada 150 ribu orang yang menggantungkan hidupnya dari produksi dan penjualan garam.

"Di Surabaya saja, dari 15 ribu hektare (ha) lahan garam, yang kerja langsung setiap 1 ha ada 2 orang, jadi totalnya 30 orang. Ditambah buruh-buruhnya kalau lengkap 1 ha sebanyak 5 orang, jadi dikalikan 15 ribu ha, 75 ribu orang," terangnya.

"Belum lagi pihak yang terlibat untuk pengangkutannya, dan lain-lain totalnya 150 ribu orang yang terkait langsung dengan garam," dia menambahkan.

 

Impor Sengsarakan Petani

Jakfar menjelaskan, impor garam industri 3,7 juta ton akan merugikan petani kecil. Alasannya, jatah penyerapan garam rakyat hanya 700 ribu ton, sementara saat normal produksinya bisa mencapai 2 juta ton, sehingga ada sisa 1,3 juta ton.

"Mau kemana lagi jual 1,3 juta ton, karena kebutuhan garam sudah dipenuhi dari impor. Bisa-bisa tidak laku garamnya. Akhirnya karena petani butuh makan, berapapun harganya dijual, ditukar sama beras saja mau," dia mengatakan.

Menurut Jakfar, awal bulan ini harga jual garam rakyat sebesar Rp 2.900 per kg. Harga tersebut sudah bergerak turun Rp 300 per kg menjadi Rp 2.600 per kg.

"Kalau garam jadi datang ke Surabaya akhir bulan ini, harga garam bisa turun lagi ke Rp 1.500 per kg. Kalau datang semuanya 3,7 juta ton, bisa tidak laku garam lokal, siapa yang mau beli, wong harga garam impor lebih murah," tuturnya.

Harga garam industri asal India misalnya, diakui Jakfar, dibanderol Rp 400 per kg yang masuk ke Surabaya. Sementara garam impor dari Australia dijual lebih mahal sebesar Rp 650 per kg.

"Kalau garam rakyat lokal mau laku, ya jualnya harus di bawah harga garam India, yaitu Rp 200-300 per kg. Dihitung biaya panen, biaya angkut, petani cuma dapat Rp 50 per kg. Habis lah kami. Katanya pemerintah mau bangun dari pinggiran, ini mah namanya membasmi dari pinggir," sindir Jakfar.

 

Kongkalikong

Jakfar menuturkan, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi garam rakyat pada 2015 sebanyak 2,9 juta ton. Selanjutnya pada 2016, panen garam hanya sekitar 144 ribu ton akibat gagal panen. Jumlah produksi 2,9 juta ton garam rakyat di 2015 terjadi surplus sehingga tidak habis diserap pada 2015-2016.

Jakfar menambahkan, produksi garam rakyat terjadi di semester II-2015 untuk mencukupi kebutuhan semester II-2015 dan semester I-2016.

"Ada surplus ditambah dengan produksi 144 ribu ton, jadi garam hanya sampai di Januari 2017 habis. Terjadilah kekurangan garam di 2017 karena 2016 gagal panen," dia menerangkan.

Menurutnya, rata-rata normal panen garam rakyat sekitar 2 juta ton dan setiap tahun seluruhnya terserap. Artinya ada industri yang bisa dipenuhi oleh produksi garam rakyat lokal, selain konsumsi 700 ribu ton.

"Tahun ini produksi garam rakyat 2017 sekitar 1,4 juta ton, dan kebutuhannya 1,8 juta ton, berarti ada kekurangan pasokan 400 ribu ton. Tapi ini malah impor 3,7 juta ton, jadi menurut saya ada kongkalikong atau permainan data sehingga semuanya diberikan izin impor garam industri," papar Jakfar.

Dengan impor 3,7 juta ton tersebut, dia memperkirakan akan ada perembesan garam industri impor untuk garam konsumsi masyarakat. "Pasti ini merembes ke konsumsi. Kecuali Asahimas, tidak mungkin untuk konsumsi," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya