Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi usaha kecil dan menengah (UKM) atau pajak UKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen. Sementara itu, batasan omzet yang masuk sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetap sebesar Rp 4,8 miliar setahun.
Menanggapi kebijakan tersebut, Pengamat Perpajakan sekaligus Direktur Eksekutif dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo menilai kebijakan itu menjadi angin segar bagi pelaku UKM dan menepis anggapan agresivitas pemerintah untuk memungut pajak UKM.
Advertisement
Baca Juga
"Keputusan ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap pelaku UKM dan menepis tuduhan pelaku UKM akan dijadikan sasaran pemungutan pajak," kata dia dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (20/3/2018).
Yustinus menambahkan, pemangkasan tarif pajak UKM sekaligus menjawab penantian para pedagang online atau e-commerce yang berharap adanya insentif pada fase pertumbuhan ini.
Pilihan mempertahankan batas omzet pengusaha kena pajak bagi UKM yang tetap Rp 4,8 miliar setahun, dianggap Yustinus sangat wajar di tengah kondisi perekonomian nasional yang sedang menggeliat.
"Apalagi jika memperhitungkan tingkat inflasi lima tahun terakhir, secara riil ambang batas ini sudah turun atau disesuaikan. Secara administrasi hal ini juga akan memudahkan wajib pajak dan fiskus atau petugas pajak," dia menerangkan.
Â
Â
UKM Rugi Bisa Tak Bayar Pajak
Dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, pemerintah akan memberikan dua opsi mekanisme pembayaran pajak bagi UKM. Yaitu menggunakan tarif PPh Final atau tarif reguler.
PP tersebut mengatur tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Dengan menggunakan tarif PPh Final, perhitungan pajak berdasarkan omzet per tahun. Artinya, si UKM untung atau rugi tetap wajib membayar pajak.
Namun jika memakai tarif reguler, maka perhitungan pajaknya berdasarkan laba. Jika UKM untung membayar pajak dengan tarif normal, tapi bila rugi dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Menurut Yustinus, pelaku UKM yang mengalami kerugian akan diperlakukan secara fair karena disediakan opsi untuk memenuhi kewajiban pajak menggunakan basis laba bersih, bukan tarif final atas peredaran usaha (omzet).
"Jadi kalau wajib pajak rugi, mereka tidak akan membayar pajak sehingga tidak membebani," tegasnya.
Sebagai konsekuensinya, wajib pajak harus menyelenggarakan pembukuan agar dapat dihitung laba (rugi) bersih, dan jumlah pajak terutang.
Lebih jauh kata Yustinus, kebijakan ini perlu diimplementasikan secara konsisten agar manfaatnya dirasakan oleh para pelaku usaha, mendorong perkembangan bisnis, dan pertumbuhan usaha. Dengan demikian, pada gilirannya meningkatkan kontribusi pajak bagi negara.
"Desain kebijakan yang tepat dan implementasi yang baik akan memperluas basis pajak karena mendorong semakin banyak pelaku UKM masuk ke dalam sistem perpajakan," jelas Yustinus.
Pelaku UKM yang didorong menyelenggarakan pembukuan dengan baik juga akan diuntungkan karena membangun budaya transparan dan akuntabel sehingga akan mendapat kepercayaan lebih besar dari lembaga keuangan, pelanggan, dan investor.
"Revisi PP 46/2013 ini patut diapresiasi karena menunjukkan sensitivitas pemerintah terhadap aspirasi dan kebutuhan para pelaku UKM, serta komitmen nyata memajukan UKM," tandasnya.
Advertisement