Menko Luhut Lawan Hoaks dan Boikot Sawit RI oleh Eropa

Perjuangan Menko Bidang Kemaritiman untuk meminta dukungan berbagai pihak melawan boikot minyak kelapa sawit Indonesia.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 17 Mei 2018, 13:02 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2018, 13:02 WIB
Menko Luhut bertemu Presiden International Fund for Agricultural Development (IFAD), Gilbert F. Houngbo (Dok Foto: Humas Kemenko Bidang Kemaritiman)
Menko Luhut bertemu Presiden International Fund for Agricultural Development (IFAD), Gilbert F. Houngbo (Dok Foto: Humas Kemenko Bidang Kemaritiman)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, kelapa sawit telah menjadi sasaran hoaks yang cukup mengemuka di dunia, termasuk di Eropa. Jika tidak diluruskan, maka Indonesia akan terkena dampak negatifnya terutama dengan nasib 2,3 juta petani kecil di Indonesia dan 17,5 juta pekerja di sektor sawit.

“Ternyata terhadap data itu istilah halusnya banyak dilakukan distortion of fact, nah itu yang banyak dilakukan negara-negara di Eropa ini,” kata Luhut dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (17/5/2018).

“Sekarang ini kita kembali menyajikan data bahwa aturan nomor satu dari WTO itu keadilan, jadi tidak boleh ada diskriminasi,” dia menegaskan. 

Dalam melawan hoaks minyak kelapa sawit Indonesia, Luhut mendapat dukungan dari dua badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yaitu Food and Agriculture Organization (FAO) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD) yang terkait masalah kemanusiaan, kemiskinan, kelaparan, agrikultur, dan peningkatan taraf hidup.

“Dukungan IFAD dan FAO banyak. Nanti seperti IFAD itu akan konferensi back to back di Bali. Sementara itu, mereka juga akan melakukan lobi, begitu juga FAO,” ujar Luhut. 

Lebih jauh dia menjelaskan, dukungan itu diberikan karena semua pihak sepakat dengan prinsip Sustainable Development Goals yang target nomor satunya adalah pengentasan kemiskinan.

“Masalah kelapa sawit ini masalah yang harus diselesaikan secara terintegrasi, karena itu menyangkut masalah kemiskinan itu adalah kaitannya dengan SDGs itu nomor satu kemiskinan,” paparnya.

 

Selanjutnya

Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Sebagai hasil akhirnya, Menko Luhut berharap publik mendapatkan perbandingan tiga produk utama pertanian yang menghasilkan minyak tersebut.

“Jadi kalau memang harus disaingkan ya tidak apa-apa, palm oil disaingkan sunflower atau dengan soybean. Padahal biji bunga matahari dan kedelai itu kan kurang efektif bila dibanding palm oil,” Luhut menerangkan. 

Masalahnya, perbandingan yang adil tidak pernah muncul karena kampanye negatif yang memberikan stereotip bahwa minyak sawit berdampak pada kerusakan hutan, membahayakan kesehatan manusia, dan mengganggu habitat hewan yang dilindungi.

Justru fakta kontribusi industri sawit yang dapat menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan di negara-negara berkembang, terabaikan. Jika kampanye yang tidak berkeadilan ini tidak di atasi, maka kendala terdekat bagi Indonesia akan terjadi pada 2021, di mana parlemen Uni Eropa melarang impor sawit untuk penggunaan biofuel dan bioliquids, termasuk biodiesel.

“Buat Indonesia ada hasil penelitian dari Stanford itu menunjukkan memang yang paling banyak mengurangi kesenjangan kita dari 0,41 ke 0,39 itu adalah minyak kelapa sawit salah satunya yang paling besar. Kalau itu terganggu ini akan merusak nanti beberapa juta orang terkait masalah kemiskinan,” tutup Luhut. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya