Pencabutan Harga Batu Bara Dinilai Untungkan Kontraktor Tambang

Kebijakan patokan harga tertinggi batu bara untuk sektor kelistrikan dicabut, maka akan memberatkan PLN karena Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik akan menyesuaikan harga pasar batu bara.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 31 Jul 2018, 16:51 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2018, 16:51 WIB
Ilustrasi batu bara.
Ilustrasi batu bara.

Liputan6.com, Jakarta Keberpihakan pemerintah kepada rakyat kini dipertanyakan, seiring rencana perubahan kebijakan harga khusus batu bara yang dapat ‎memicu kenaikan tarif listrik.

Direktur Eksekutif Indonesian Re‎sources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, rencana perubahan kebijakan harga batu bara khusus kelistrikan tertinggi USD 70 per ton, hanya mengakomodir perusahaan tambang.

"Latar belakang perubahan ini kepentingan kontraktor tambang batu bara untuk membatalkan peraturan itu," kata dia dalam sebuah diskusi di Kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (31/7/2018).

Menurut Marwan, jika kebijakan patokan harga tertinggi batu bara untuk sektor kelistrikan dicabut, maka akan memberatkan PT PLN karena Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik akan menyesuaikan harga pasar batu bara yang saat ini sedang melambung.

Marwan melanjutkan, agar kenaikan BPP listrik tidak ‎membebani PLN, maka jalan keluarnya dengan meningkatkan ‎beban subsidi listrik agar tarif listrik tidak naik atau kenaikan harga listrik yang dibebankan ke masyarakat.

Marwan pun mempertanyakan, keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Pasalnya, jika kebijakan harga batu bara khusus kelistrikan benar dihapus, maka yang memperoleh keuntungan adalah pengusaha tambang batu bara.

"Kalau ini dicabut beban meningkat, berdampak pada listrik yang dibayar ke konsumen. Kalau nggak naik ‎maka pemerintah nambah subsidi. Kontraktor batu bara dapat untung keuntungan besar. Pajak memang meningkat tapi keuntukan mereka lebih naik. Pak Jokowi, Pak Luhut memihak siapa? pengusaha atau penduduk Indonesia?," dia menandaskan.

Cabut Harga Batu Bara Khusus PLN Dapat Picu Kenaikan Tarif Listrik

Karyawan PT PLN (Persero) tengah memasang meteran listrik di salah satu rumah warga Natuna, Kepulauan Riau. (Foto: Humas PLN)
Karyawan PT PLN (Persero) tengah memasang meteran listrik di salah satu rumah warga Natuna, Kepulauan Riau. (Foto: Humas PLN)

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ‎menilai, perubahan kebijakan harga batu bara khusus untuk sektor kelistrikan yang dipatok tertinggi USD 70 per ton, akan memicu kenaikan tarif listrik.

Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, jika harga batu bara khusus kelistrikan dihapus, akan mengganggu arus kas PT PLN (Persero) karena Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik naik. Sementara pemerintah telah memutuskan tidak menaikan tarif listrik . 

Kondisi ini membuat perusahaan tersebut mengurangi investasi pembangunan dan perawatan ‎infrastruktur kelistrikan, sehingga berujung pada terganggunya kehandalan pasokan listrik.

"Pemerintah sudah menyandra tidak naik tarif, tapi hulunya dipangkas PLN akan mengurangi biaya investasi‎," kata Tulus, dalam sebuah diskusi di Kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (31/7/2018).

Tulus menuturkan, jika ingin kehandalan pasokan listrik tidak terganggu, maka jalan keluarnya adalah menaikan tarif listrik, untuk mengimbangi ‎kenaikan BPP listrik akibat harga batu bara yang sudah tidak dipatok lagi. Dengan begitu, PLN memiliki kecukupan dana untuk berinvestasi membangun infrastruktur kelistrikan.

"Kalau kehandalan tidak turun maka akan terjadi kenaikanan, ‎jadi implikasinya dua akan membuat kehandalan turun dan akan naik," tutur Tulus.

Tulus melanjutkan, wacana pemerintah ingin menurunkan tarif listrik pun akhirnya tidak terlaksana, bahkan yang terjadi justru kenaikan tarif ‎akibat batu bara yang dibeli PLN dengan harga pasar.

"Yang diwacanakan bagaimana menurunkan TDL (tarif dasar listrik) yang masih diangap mahal,  sedang evaluasi agar tarif turun, tapi ini perlu didukung dengan kebijakan," ujar dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya