Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat pada perdagangan hari ini.
Mengutip Bloomberg, Selasa (21/8/2018), rupiah dibuka di angka 14.565 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.588 per dolar AS.
Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.562 per dolar AS hingga 14.580 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah telah melemah 7,56 persen.
Advertisement
Sedangkan berdasarkan Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) rupiah dipatok di angka 14.568 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.578 per dolar AS.
Baca Juga
Dolar AS memang melemah pada perdagangan hari ini karena investor keluar dari mata uang safe-haven menyusul meningkatnya optimisme tentang perundingan perdagangan AS dengan China.
Indeks dolar, yang mengukur nilai tukar dolar AS terhadap sekeranjang mata uang utama saingannya, turun 0,3 persen ke level terendah 95,83 menjelang pembicaraan perdagangan antara AS dan China.
Perundingan ini menjadi batu loncatan pertemuan puncak antara Presiden Trump dan Presiden China Xi Jinping pada November.
"Memang ada beberapa kehati-hatian menilik pembicaraan perdagangan AS-China pada minggu ini, namun semua mengarah ke beberapa berita utama yang positif," kata Daniel Katzive, kepala strategi valas Amerika Utara pada BNP Paribas di New York, seperti dikutip dari Reuters.
* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ini Penyebab Rupiah Terus Anjlok
Nilai tukar rupiah masih terus bergejolak bahkan cenderung melemah. Saat ini posisi masih berada di kisaran Rp 14.500-Rp 14.600 per dolar AS.
Pengamat Ekonomi Faisal Basri mengungkapkan, anjloknya nilai tukar rupiah karena lemahnya daya tahan mata uang Indonesia ini terhadap gejolak yang terjadi, baik dari dalam maupun luar negeri.
"Rupiah ini adalah akibat dari lemahnya daya tahan rupiah dari goncangan," ujar dia dalam Indosterling Forum di Jakarta seperti ditulis Jumat (17/8/2018).
BACA JUGA
Sementara itu, dia menilai selama ini pemerintah terlalu berlebihan dalam membangun infrastruktur tanpa memperhatikan kemampuan keuangan, termasuk kemampuan dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan bahan baku. Dengan demikian untuk menopang pembangunan dibutuhkan impor bahan baku.
"Pemerintah berlebihan dalam membangun infrastruktur tanpa memperhatikan stamina, tanpa memperhatian batas kemampuan yang dimiliki sendiri. Sekarang sudah diakui kecepetan dan coba dari dulu. Jangan kalap bangun infrakstruktur," ungkap dia.
Hal lain yang menyebabkan rupiah semakin sulit untuk bangkit, lanjut Faisal yaitu neraca perdagangan yang cenderung defisit. Memang ekspor nonmigas masih suplus, namun untuk migas cenderung negatif karena impor BBM dan gas.
"Jadi minyak mentah BBM dan gas defisitnya dan sangat besar. Ada migas dan nonmigas. Migasnya defisit besar dan nonmigas surplusnya kurang. Yang menopang rupiah ini ekspor nonmigas dan yang merorongnya migas. surplus nonmigas makin turun. Sekarang ekspor batu bara sesukanya tanpa DMO. Sumber masalahnya apa? Karena kilang enggak jadi-jadi, jadinya impor bahan baku mentah besar," tandas dia.
Advertisement