Kemenhub: Infrastruktur RI Terbaik Ketiga di ASEAN Itu Luar Biasa

Indonesia berada di posisi ketiga untuk pembangunan terbaik di ASEAN. Indonesia kalah dari Singapura dan Malaysia.

oleh Merdeka.com diperbarui 07 Nov 2018, 15:15 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2018, 15:15 WIB
Ditinggal Mudik Pekerja, Pembangunan Infrastruktur Dihentikan Sementara
Suasana sepi terlihat di proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodebek lintas pelayanan dua rute Cawang-Dukuh Atas di kawasan Kuningan, Jakarta, Senin (18/6). Seluruh proyek infrastruktur masih ditinggal mudik para pekerja. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Biro Perencanaan Kementerian Perhubungan (Kemenhub), I Gede Pasek Suardika, mengatakan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah telah membuat Indonesia menempati posisi tiga dengan infrastruktur terbaik di Asia Tenggara (ASEAN). 

Dia menjelaskan, dalam pemeringkatan yang dikeluarkan oleh IMF tersebut, Indonesia berada di bawah Singapura di urutan pertama dan Malaysia di urutan kedua.

"Infrastruktur kita terbaik ketiga di Asean. Ini di publikasi resmi dari IMF. Itu disampaikan orang lain bukan kita sendiri yang menilai," kata dia dalam Forum Perhubungan, di Hotel Santika Premiere, Jakarta, Rabu (7/11/2018).

Capaian tersebut, lanjut dia, merupakan prestasi yang sangat luar biasa. Meskipun dirinya mengakui jika infrastruktur Indonesia masih di bawah negara tetangga Singapura yang memang infrastrukturnya sudah lama maju.

"Pasti yang terbaik pertama adalah Singapura ya. Tapi luar biasa kita terbaik ketiga Asean. Luar biasa orang enggak percaya itu," tutur dia.

Dia menambahkan, pembangunan infrastruktur yang dilakukan pun mengerek peringkat global competitiveness Indonesia. Peringkat global competitiveness Indonesia pada 2017 naik dari peringkat 41 menuju peringkat 36. 

Selain itu, peringkat kemudahan berusaha (Easy of Doing Business/EoDB) Indonesia meningkat. Pada 2017, peringkat EoDB Indonesia naik dari peringkat 91 ke posisi 72.

Namun, peringkat kemudahan berusaha tersebut pun turun ke posisi 73 pada 2018. Hal ini tentu penting bagi Indonesia dalam upaya menarik lebih banyak investor baik dalam maupun luar negeri untuk menanamkan modalnya. "Jadi mohon bantuannya untuk mempromosikan kepada para investor biar mau masuk ke Indonesia," ujar dia. 

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 

Peringkat Kemudahan Berusaha RI Tertinggal dari Vietnam dan Thailand

2018, Menko Perekonomian Patok Pertumbuhan Ekonomi Harus 5,4 Persen
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Sabtu (28/4). Pemerintah menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di angka 5 persen belum memadai. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Bank Dunia atau World Bank Group melaporkan iklim berusaha atau berbisnis Indonesia kini tercatat semakin membaik.

Indikator perbaikan tersebut ditunjukan dari kemudahan memperoleh pinjaman dan juga pendaftaran untuk properti.Namun, peringkat kemudahan berusaha Indonesia tercatat turun dari posisi 72 menjadi 73.

Itu disebabkan perbaikan (improvements) RI masih kalah besar jika dibandingkan negara-negara tetangga atau negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Adapun jika dilihat berdasarkan EoDB Ranking 2019, posisi Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam di peringkat ke-69, Singapura posisi ke-2, Malaysia di posisi 15, dan Thailand yang menempati posisi ke-27.

Bank Dunia menyebutkan, tidak semua indikator dimasukkan dalam perhitungan kemudahan berusaha atau ease of doing business (EoDB) 2019 dari Bank Dunia itu. Salah satunya ialah sentimen politik dari dalam negeri.

"Kami tidak memasuki sentimen politik, hanya undang-undang dan peraturan. Jadi tidak ada sentimen politik yang memang dimasukan ke dalam perhitungan indeks," tutur Arvin Jain Senior Economist and Statiscian World Bank Group dalam konferensi pers yang disiarkan langsung di Malaysia, Kamis (1/11/2018).

Pada laporan EoDB 2019, ada 11 indikator dari Bank Dunia yang menjadi acuan penilaian bagi Indonesia. Adapun indikator terendah RI ditempati oleh Enforcing Contracts (penegakan kontrak) yakni baru mencapai 47,23 persen. 

Untuk memperbaiki peringkat kemudahan berusaha itu, Arvin menyarankan RI sebaiknya melihat kebijakan apa yang paling dimungkinkan untuk direalisasikan sesuai konteks yang dibutuhkan saat ini.

"EoDB ini merupakan alat untuk regulator, jadi ini bergantung pada pembuat kebijakan (di Indonesia) untuk menerapkan praktik-praktik terbaik di masing-masing negara dan merealisasikan sesuai konteks yang dibutuhkan negara," terangnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya