Keputusan Bank Sentral Eropa Tekan Nilai Tukar Rupiah

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.315 per dolar AS hingga 14.334 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 11 Mar 2019, 10:45 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2019, 10:45 WIB
Persiapan Uang Tunai Bi
Petugas melakukan pengepakan lembaran uang rupiah di Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (21/12). Bank Indonesia (BI) mempersiapkan Rp 193,9 triliun untuk memenuhi permintaan uang masyarakat jelang periode Natal dan Tahun Baru. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di awal perdagangan pekan ini. Permintaan dolar AS yang naik menekan rupiah.

Mengutip Bloomberg, Senin (11/3/2019), rupiah dibuka di angka 14.334 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.314 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.315 per dolar AS hingga 14.334 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah masih menguat 0,50 persen.

Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.324 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan sehari sebelumnya yang ada di angka 14.223 per dolar AS.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, pelemahan rupiah dipicu keputusan Bank Sentral Uni Eropa (ECB) yang mensinyalkan adanya stimulus baru dan pemangkasan pertumbuhan ekonomi untuk Uni Eropa, serta pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi China dari 6,5 persen menjadi 6 persen untuk tahun 2019.

"Kedua ekonomi ini dikhawatirkan membuat ekonomi global melambat. Ketidakpastian ini membuat permintaan dolar AS meningkat," ujar Lana.

Sebenarnya, dari domestik, kenaikan cadangan devisa pada Februari 2019 lalu seyogyanya dapat menjadi sentimen positif bagi rupiah.

Posisi cadangan devisa (cadev) per Februari 2019 tercatat sebesar USD 123,3 miliar, naik dari USD 120,1 miliar pada Januari 2019. Kenaikan diantaranya karena penerbitan obligasi sukuk global yang senilai USD 2 dua miliar pada 2 Februari 2019, ditambah penerimaan devisa migas.

Posisi cadev tersebut mencapai 6,9 bulan impor dan 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

"Mestinya kenaikan posisi cadangan devisa ini bisa membantu menguatkan rupiah tetapi tampaknya isu eksternal pada hari Jumat kemarin lebih kuat," kata Lana.

Kendati demikian, ia menilai ada potensi penguatan rupiah secara teknikal menuju kisaran antara 14.250 per dolar AS hingga 14.300 per dolar AS.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Bos BI Ungkap 4 Pemicu Rupiah Merosot

IHSG Berakhir Bertahan di Zona Hijau
Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengakui,  Hal itu disebabkan guncangan yang tengah terjadi pada ekonomi global dan membuat Dolar AS menguat.

"Perkembangan di ekonomi global mendorong terjadinya risk off terhadap sentimen pasar keuangan global dan mendorong menguatnya Dolar AS," kata Perry di kompleks gedung BI, Jakarta, pada Jumat 8 Maret 2019. 

Dia mengungkapkan ada 4 faktor utama yang mendorong terjadinya kondisi tersebut. Hal pertama adalah membaiknya beberapa indikator ekonomi di AS terutama sektor manufaktur. Hal itu membuat sentimen positif untuk ekonomi AS meningkat.

Faktor kedua, melemahnya ekonomi di Eropa serta tingkat inflasinya yang rendah. Hal tersebut otomatis membuat Euro menjadi melemah. Sehingga ini mendorong semakin kuatnya dolar AS terhadap berbagai mata uang negara lain.

"Kondisi ekonomi Eropa yang memang msih lemah, inflasi rendah oleh karena itu akan perpanjang stimulus moneter, jadi dovish statement dan stimulus moneter buat mata uang Euro melemah," jelas dia.

Faktor selanjutnya, kenaikan harga minyak yang terjadi karena berbagai faktor. Di antaranya sanksi yang dijatuhkan terhadap Venezuela membuat harga minyak WTI meningkat.

"Keempat, faktor risiko geopolitik. Memang seminggu terakhir lebih negatif seperti tidak tercapai kesepakatan AS dan Korea Utara. Kemudian ketidak jelasan Brexit dan kehausan politik lainnya," ujarnya.

Dia menyatakan, keempat faktor tersebut berhasil menekan nilai tukar mata uang di banyak negara di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

"Saya tegaskan tekanan Rupiah lebih banyak karena faktor eksternal dan faktor domestik semuanya bagus. Inflasi rendah, ekonomi survei ekspektasi konsumen membaik, aliran mdoal asing baik, cadangan devisa meningkat," dia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya